Jumat, 12 Agustus 2016

tulisan kali ini adalah sambungan dari blog saya sebelum nya pantai balangan .kali ini khusus saya membahas tentang bagian dari pura dalem balangan. ada sebuah tradisi yang kaitannya sangat erat dengan pura dalem balangan ,tradisi ini dilakukan oleh pengempon pura/ warga yang secara aktif mengurus dan mengupacarai pura dalem balangan tersebut. ini adalah tarian khas yang kami sebut tarian gandrung. tarian gandrung ini dijadikan Skripsi oleh istri saya sendiri. daripada banyak kata sambutan mari kita baca langsung kripsi tersebut.



SKRIPSI
TRADISI MESOLAH TARI GANDRNG PADA RAHINA PURANAMA DILINGKUNGAN BANJAR CENGILING
DESA JIMBARAN KECAMATAN KUTA SELATAN KABUPATEN BADUNG
(PERSEFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU)





NI PUTU DIAN LESTARIE









FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015


SKRIPSI
TRADISI MESOLAH TARI GANDRNG PADA RAHINA PURANAMA DILINGKUNGAN BANJAR CENGILING
DESA JIMBARAN KECAMATAN KUTA SELATAN KABUPATEN BADUNG
(PERSEFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU)

Diajukan Kepada
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Untuk Memenuhi Salah Satu
 Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu
Program Studi Pendidikan Agama Hindu

NI PUTU DIAN LESTARIE
11.1.1.1.1.238


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015

i
SKRIPSI
TRADISI MESOLAH TARI GANDRNG PADA RAHINA PURANAMA DILINGKUNGAN BANJAR CENGILING
DESA JIMBARAN, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG
(PERSEFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU)





TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI UNTUK DIUJI
OLEH :









         Penguji  I                                                            Penguji  II








Ida Ayu Putu Sari Ratnadi, S.Ag,M.Ag   Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd, S.Ag, M.Pd
NIP. 19540419 198003 2 001                    NIP. 196412312003122020


ii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul “Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama DiLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung” beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dan mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
                                                            Denpasar, Juni 2015
                                                            Yang membuat pernyataan,



                                                            Ni Putu Dian Lestarie
                                                            NIM : 11.1.1.1.1.238




vi
MOTTO   
Hiduplahh Seperti Pohon Yang Lebat Buahnya, Hidup Ditepi Jalan dan Dilempari Orang Dengan Batu, Tetapi Dibalas Dengan Buah.















iv
KATA PERSEMBAHAN      :
KARYA TULIS INI KEPERSEMBAHKAN KEPADA
1.     Ida Sang Hyang Widhi Wasa
2.     Bapak dan Ibuku
3.     Seluruh keluarga
4.     Teman-teman yang telah memberikan nasehat dan motivasinya













v
 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, hanya atas asung wara nugrahaNya skripsi yang berjudul “Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama DiLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung” dapat terselesaikan.
Karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan atau kewajiban dalam memperoleh derajat sarjana strata satu (S.1) Program Studi Pendidikan Agama Hindu, Jurusan Pendidikan Agama, Fakultas Dharma Acarya di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Maka penulis mengucapkan  terima kasih kepada :
  1. Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar atas segala fasilitas yang diberikan selama kuliah.
  2. Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si., Dekan Fakultas Dharma Acarya yang telah memberikan kelancaran terkait administrasi selama menempuh studi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
  3. I Dewa Putu Tagel, S.Ag., M.AG., Ketua Jurusa Pendidikan Agama, Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
  4. Ida Ayu Sari Ratnadi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan saran-saran selama menyelesaikan penelitian ini.

vii
  1. Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd.,S.Ag.,M.Pd. Pembimbing II, yang telah sabar membimbing dalam penyempurnaan dan penyelesaian skripsi ini.
  2. Dr. Dra. Ni Ketut Srie Kususma Wrdhani, M. Pd. Pembimbing Akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam mengikuti perkuliahan.
  3. Para Dosen dan Staf Pegawai di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis menyampaikan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya dalam kesabaran memeberikan materi dalam proses perkuliahan dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
  4. Semua pihak dan teman-teman sejawat yang telah banyak membantu, serta memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
Hasil penelitian ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang ada pada penulis, sehingga kritik dan saran yang kontruktif guna kesempurnaan penelitian ini sangat ini sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini.
                                                                                    Denpasar,        Juni 2015


                                                                                    Peneliti,
viii
ABSTRAK

Bertitik tolak dari fenomena yang terjadi saat ini, utamanya pada kehidupan berkesenian. Dari permasalahan ini kita akan banyak tahu apa yang terjadi pada dunia seni di Bali yang telah tertata dengan apik dan sesuai dengan kultur ketimuran serta dibingkai oleh norma-norma agama dan budaya kehinduan yang sangat kental. Sehingga Pulau Bali merupakan pulau yang terkenal ke seluruh pelosok dunia, hal ini tidak hanya disebabkan oleh keindahan alamnya, tetapi lebih dari itu Bali lebih banyak menarik perhatian dunia karena seni budayanya. Bali merupakan pulau yang penuh kebahagiaan di mana musik, tari dan drama tidak hanya dicintai oleh semua orang tetapi merupakan sesuatu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan keagamaan terbukti semakin menjamurnya pementasan seni sacral dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan.
Terkait dengan hal diatas, maka penulis mengangkat karya tulis ilmiah dengan judul: “Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung (Persepektif Pendidikan Agama Hindu). Adapun  dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimanakah Proses Pementasan Tari Gandrung pada Rahina Puranama yang  dilaksanakan oleh masyarakat dilingkungan Banjar Cengiling?, (2) Apakah motivasi masyarakat dilingkungan banjar cengiling dalam Pementasan Mesolah Tari Gandrung pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?, (3) Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dari pementasan Tari Gandrung padaRahina Purnama dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?    
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses mesolah tari gandrung, apa saja motivasi masyarakat dilingkungan banjar cengiling dalam mementaskan mesolah tari gandrung, dan nilai-nilai pendidikan agama hindung yang terkandung dalam mesolah tari gandrung. Untuk mencapai hasil yang lebih baik, sebagai landasan teori dipergunakan Teori Religi, Teori Motivasi dan Teori Nilai. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu observasi, wawancara, study keputakaan dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Tari Gandrung merupakan tarian yang ditarikan oleh satu orang perempuan dan menggunakan gerakan yang lemah lembut, tari gandrung ditarikan setiap rahina purnama dan melaksankan persembahyangan bersama. Kita juga harus dapat melestarikan kebudayaan yang diwarisi oleh nenek moyang dan bisa diajarkan kepada generasi muda agar generasi muda lebih memahami kebudayaan kita ketimbang kebudayaan asing.

Kata Kunci: Tari Gandrung, Pendidikan Agama Hindu  


ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................         i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................            ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.............................................................       iii
MOTTO.........................................................................................................       iv
KATA PERSEMBAHAN............................................................................        v
KATA PERNYATAAN...............................................................................       vi
KATA PENGANTAR .................................................................................      vii
ABSTRAK ...................................................................................................     viii
DAFTAR ISI.................................................................................................       ix
BAB I       PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang .....................................................................        1
1.2    Rumusan Masalah.................................................................        5
1.3    Tujuan Penelitian..................................................................        5
1.3.1    Tujuan Umum............................................................        6
1.3.2    Tujuan Khusus...........................................................        6
1.4    Manfaat Penelitian................................................................        7
1.4.1    Manfaat Teoritis.........................................................        7
1.4.2    Manfaat Praktis..........................................................        7
BAB II     KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI
2.1    Kajian Pustaka .....................................................................         8
2.2    Konsep..................................................................................        12
2.2.1 Tradisi..........................................................................        12
2.2.2 Mesolah.......................................................................        13
2.2.3 Tari Gandrung.............................................................         14
2.2.4 Rahina Purnama .........................................................         14
2.2.5 Persefektif ..................................................................         15
2.2.6 Pendidikan .................................................................         16

x
2.2.7 Pendidikan Agama Hindu ..........................................         17

2.3    Teori......................................................................................         18
2.3.1        Teori Religi ............................................................         19
2.3.2        Teori Motivasi.........................................................        20
2.3.3        Teori Nilai...............................................................        21

BAB III   METODE PENELITIAN
3.1    Jenis dan Pendekatan Penelitian...........................................        23
3.1.1 Jenis Penelitian ............................................................        23
3.1.2 Pendekatan Penelitian..................................................        24
3.2    Lokasi Penelitian ..................................................................         24
                  3.3 Jenis dan Sumber Data ..........................................................        25
                          3.3.1 Jenis Data....................................................................         25
                          3.3.2 Sumber Data................................................................        26
                                  3.3.2.1 Data Primer .....................................................         26
                                  3.3.2.2 Data Sekunder ................................................         26
                  3.4  Subjek dan Objek Penelitian ................................................         27
                         3.4.1 Subjek Penelitian ........................................................         27
                         3.4.2 Objek Penelitian ..........................................................         27
3.5 Teknik Penentuan Informan ...................................................         28
                 3.6 Metode Pengumpulan Data....................................................         29
                          3.6.1 Metode Obsevasi........................................................         29
                          3.6.2 Metode Wawancara ...................................................         30
                          3.6.2 Metode Kepustakaan .................................................         31
                          3.6.3 Metode Dokumentasi..................................................         32
                   3.7 Teknik Analisis Data………………………………….........         33
3.7.1 Reduksi Data...............................................................         33
3.7.2 Penyajian Data............................................................         33

xi
3.7.3 Mengambil Kesimpulan...............................................         33

BAB IV  PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian.......................................         35
...... 4.1.1 Letak Geografis............................................................         35
...... 4.1.2 Kependudukan..............................................................         36
...... 4.1.3 Sistem Kepercayaan......................................................         37
...... 4.1.4 Keadaan Penduduk Menurut Usia.................................       37
 4.1.5 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian...........         37
 4.1.6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...........         39
4.2 Proses Mesolah Tari Gandrung...............................................         39
                        4.2.1 Waktu Pelaksanaan........................................................       39
4.2.2 Sarana dan Prasarana.....................................................       41
4.2.2.1 Pakaian Penari ..................................................       41
4.2.2.2 Gambelan..........................................................       41
4.2.2.3 Syarat Menjadi Penari Gandrung......................       42
4.2.3 Tahapan Mesolah Tari Gandrung..................................       43
4.2.3.1 Lokasi Pementasan.............................................      43
4.2.3.2 Pemimpin Upacara..............................................     44
4.2.3.3 Upakara ..............................................................     49
4.2.4 Pementasan Mesolah Tari Gandrung...............................     55
4.3 Motivasi Masyarakat Melaksanakan Mesolah Tari Gandrung ....   59
4.3.1    Melestarikan Kebudayaan.............................................     60
4.3.2 Mengajarkan Generasi Muda Untuk Mengenal
dan  Melestarikan Seni dan Kebudayaan............................. 61
4.3.3 Meningkatkan Pengamalan Tri Hita Karana......................   62
4.4 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Yang Terdapat
Pada Pementasan Tari Gandrung Pada Rahina Purnama
di Lingkungan Banjar Cengiling.....................................................66

xii
BAB V    SIMPULAN DAN SARAN         
  5.1 Simpulan ...................................................................................     78
                 5.2 Saran .........................................................................................     79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN





































xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Lingkungan Banjar Cengiling …………… 36
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ……………………… 37
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Usia …………………………….. 37
Table 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ………………. 38
Table 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan …………….. 39





















xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Banten Pejati …………………………………………… 51
Gambar 4.2 Persembahyangan Bersama ……………………………. 55
Gambar 4.3 Prosese Tari Gandrung Bersiap-siap …………………… 57
Gambar 4.4 Prosese Penari Saat Mengibing ………………………… 58
Gambar 4.5 Penari Selesai Menari …………………………………..  59
















xv

                                                BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Didunia kebudayaan khususnya kesenian mengalami suatu perubahan-perubahan yang sangat mencolok utamanya dalam masalah aktivitas cipta, ide, dan penggarapan kesenian.Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap perkembangan berkesenian di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya.Baik itu perkembangan yang bersifat positif maupun perkembangan yang bersifat negatif. Penyebabnya bukan mutlak bersumber dari dunia kesenian, akan tetapi bersumber pada pengaruh global yang terjadi pada dunia modern ini. Pengaruh perubahan ini sangat berdampak pada semua sudut kehidupan, termasuk juga pada dunia kesenian.Begitu gencarnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebabkan semua sendi kehidupan mengalami suatu perkembangan yang cukup pesat pula. Sehingga  tampak  terjadi perombakan atau perpaduan yang bertujuan untuk mencari suatu kepuasan hati bagi seniman. “Mereka juga dituntut untuk memenuhi kepentingan penikmat seni yang telah terkontaminasi oleh  pola kehidupan yang liberal atau individualisme dan juga kehidupan yang mewah”. Sehingga dengan terpaksa mereka mengacu pada perkembangan jaman yang sangat rentan untuk berubah setiap saat.Tanpa mengikuti pola kehidupan ini mereka merasa tertinggal oleh perkembangan jaman.
Bertitik tolak dari fenomena yang terjadi saat ini, utamanya pada kehidupan berkesenian. Dari permasalahan ini kita akan banyak tahu apa yang terjadi pada dunia seni di Bali yang telah tertata dengan apik dan sesuai dengan kultur ketimuran serta dibingkai oleh norma-norma agama dan budaya kehinduan yang sangat kental. Sehingga Pulau Bali merupakan pulau yang terkenal ke seluruh pelosok dunia, hal ini tidak hanya disebabkan oleh keindahan alamnya, tetapi lebih dari itu Bali lebih banyak menarik perhatian dunia karena seni budayanya. “Bali merupakan pulau yang penuh kebahagiaan di mana musik, tari dan drama tidak hanya dicintai oleh semua orang tetapi merupakan sesuatu yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan keagamaan” (Mandra, 1995 : 21), terbukti semakin menjamurnya pementasan seni sakral dalam setiap pelaksanaan upacara keagamaan diiringi dengan perkembangan kehidupan perekonomian yang semakin membaik. Seni budaya Bali yang ditandai oleh kebudayaan Hindu, merupakan warisan budaya yang unik, di dalamnya terdapat perpaduan antara unsur kebudayaan kuno dengan kebudayaan Hindu yang datang dari India melalui Jawa. “Di duga masuknya Hindu dari Jawa ke Bali yakni antara abad ke-X sampai pada abad ke-XVI”. Di dalam seni budaya ini selain faktor seni gamelan, seni bangunan, seni ukir, dan seni lukis, seni tari merupakan suatu aspek penting dari kesenian di Bali.
Berbicara tentang seni Bali atau kesenian Bali, maka secara tidak langsung akan terkait dengan nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya, karena lestarinya budaya Bali atau kesenian Bali disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah faktor agama, di mana faktor agama atau nilai-nilai agama ini menjiwai kebudayaan atau kesenian Bali yang ada, demikian pula sebaliknya, ajegnya Agama Hindu di Bali disebabkan oleh dukungan budaya atau kesenian Bali terhadap Agama Hindu tersebut. Agama Hindu dan budaya atau kesenian Bali dapat diibaratkan seperti dua utas benang yang terikat satu sama lain, yang sulit untuk dilepaskan.
“Upacara yang dilakukan oleh umat Hindu sering disebut dengan yadnya atau lazim dikenal dengan upacara yadnya, di mana upacara yadnya ini sesungguhnya berarti pemujaan, persembahan korban suci, upacara korban”(Tim penyusun,1995:5). “Di dalam kitab Bhagawad Gita,yadnya artinya sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melakukan persembahan kepada Tuhan”(Tim penyusun,1995:5). Yadnya terdiri atas lima bagian yang disebut dengan PancaYadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya persembahan dengan sesajen dan mengucapkan sruti dan stawa pada waktu bulan purnama, Rsi Yadnya yaitu mempersembahkan punya berupa buah-buahan, makanan dan barang-barang yang tidak mudah rusak kepada para Rsi, BhutaYadnya yaitu mempersembahkan tawur dan caru kepada para bhuta kala, Manusia Yadnya adalah bersedekah kepada masyarakat dan PitraYadnya menghormati  dan mendengarkan dengan baik dan nasehat-nasehat orang tua dan juga mengabdi kepada Beliau (Tim penyusun, 1995:14).  Kelima macam yadnya tersebut dalam proses pelaksanaannya haruslah didukung oleh sarana dan prasarana, atau dapat dikatakan memiliki unsur pelengkap agar upacara yadnya tersebut bisa berjalan dengan sempurna guna mencapai tujuan yang diinginkan yakni keseimbangan alam semesta beserta isinya. Unsur-unsur pelengkap tersebut antara lain: berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan kemenyan yang wangi semerbak dan puja astawa sulinggih, suara kidung, tabuh dan gamelan yang meriah, dan berbagai atraksi seni religius lainnya.
Unsur suara dan unsur tari merupakan unsur pokok di samping unsur utama seperti sesajen.Puja astawa sulinggih, suara genta, kidung, gong, tabuh, gamelan, dan tarian yang semuanya memiliki nilai atau makna yang sama pentingnya satu dengan yang lain dalam mendukung suatu upacara atau yadnya. Namun dalam pelaksanaan upacara yadnya di Bali antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, pelaksanaannya tidak sama atau mengikuti aturan yang mutlak, atau dapat dikatakan bahwa pelaksanaan upacara yadnya yang didukung oleh sarana dan prasarana atau unsur pelengkap tersebut disesuaikan dengan waktu, daerah, atau keadaan yang di Bali dikenal dengan desa, kala, dan patra. Demikian pula keunikan yang terjadi disalah satu daerah di Selatan pulau Bali  Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pelengkap upacara yadnya dari unsur tarian tersebut adalah sebuah tarian yang bernama tari Gandrung.keunikan yang ada dapat dilihat dari unsur penarinya yaitu yang menarikan adalah seorang wanita yang masih suci (gadis).Dan juga dari unsur tariannya yaitu ditarikan dengan gerakan yang lambat dan sederhana tetapi berirama dan gerakan ini tidak pernah dipelajari oleh para penari. Para penari membawa beberapa sarana-sarana seperti kipas(kepet) dan kursi. Dari keunikan ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai nilai pendidikan yang ada dalam Tari Gandrung Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.


1.2 Rumusan Masalah
Dalam memecahkan suatu masalah, permasalahannya harus dirumuskan terlebih dahulu. Sesuai dengan judul ini yakni Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Tari Gandrung Pada Rahina Purnama di Pura  Pesambhyangan Dalem Balangan di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, maka permasalahan yang di kemukakan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Proses Pementasan Tari Gandrung pada Rahina Puranama yang  dilaksanakan oleh masyarakat dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?
2.      Apakah motivasi masyarakat Dilingkungan Banjar Cengiling dalam Pementasan Mesolah Tari Gandrung pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?
3.      Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dari Pementasan Tari Gandrung pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?      

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud adalah suatu tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan yang dilakukan. Suatu penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh tujuan itu sendiri. Tujuan merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam penelitian . Adapun tujuan penelitian terdiri dari dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus:
1.3.1  Tujuan Umum.
Tujuan penelitian ini bagi mahasiswa adalah  sebagai bahan  perbandingan  antara teori yang diterima di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan, di samping sebagai satu syarat  untuk mencapai gelar sarjana Jurusan Ilmu Pendidikan Agama Hindu. Sedangkan bagi masyarakat Lingkungan Banjar Cengiling  nantinya diharapkan  dapat dipakai sebagai  pedoman dan acuan guna menambah  wawasan tentang nilai pendidikan agama Hindu dalam Tari Gandrung pada Rahina Purnama.
1.3.2  Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui Proses Tari Gandrung pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
2.      Untuk mengetahui apa motivasi masyarakat dalam melaksanakan Tari Gandrung pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung
      3.      Untuk mengetahui Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Yang terkandung dalam pementasan Tari Gandrug pada Rahina Purnama dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.


      1.4  Manfaat Penelitian
                        Manfaat penelitian merupakan nilai guna dari kegiatan penelitian, melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat hasil yang ingin dicapai, hasil penelitian yang diperoleh nantinya memiliki manfaat secara teoritis, maupun manfaat secara praktis. Adapun manfaat yang diperoleh dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.4.1  Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah teori-teori keilmuan dan juga dapat memberikan informasi yang lengkap dan jelas tentang keberadaan Tari Gandrungpada Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
1.4.2  Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian yang diperoleh nantinya diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Tarian Gandrung Pada Rahina Purnama dan masyarakat mengetahui fungsi serta nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam Tari Gandrung  pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Melakukan penelitian ilmiah diperlukan langkah-langkah peninjauan terhadap kepustakaan dalam bentuk hasil-hasil penelitian maupun dari beberapa buku untuk mendapatkan sumber-sumber yang jelas dan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat. Sumber data kepustakaan yang dipakai oleh peneliti akan dapat bermanfaat sebagai pendukung atau pustaka pembanding, sehimhha menunjukan hasil-hasil penelitian lebih berkualitas serta untuk menghindari kesamaan kajian dalam penelitian. Suprayoga dan Tabroni (2001), menyatakan bahwa kajian kepustakaan meliputi pengidetifikasi secara sistematis penemuan dan analisis dokumen yang memuat informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian.
            Kajian pustaka dalam penelitian ini, penulis gunakan sebagai bahan perbandingan, mencari sumber pendukung (panduan) yang terkait dengan penelitian ini. Adapun kajian pustaka yang digunakan sebagai kajian pustaka adalah hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dan buku yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Ayu Puspa Sari (2014) dalam penelitiannya “Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Pementasan Tari Legong Pada Piodalan Dipura Kawitan Batur Sari, Desa Ubung Kaja” menyatakan bahwa Lelegongan adalah suatu tarian yang ditarikan dengan gerakan lambat tetapi luwes yang diiringi dengan sebuah gambelan dan ditarikan oleh satu orang saja yaitu penari perempuan
Kontribusi dengan penelitian ini yaitu memiliki persamaan yaitu tariannya sama-sama menggunakan gerakan yang lambat dan diiringi dengan gambelan. Tetapi dalam juga memili perbedaan yaitu dalam penelitian ini menggunakan pengibing yaitu pemangku penari tari gandrung sedangkan dalam penelitian Ayu Puspita Sari tidak menggunakan pengibing.
            Diah Ekayati (2014) dalam penelitiannya “Tari Topeng Legong Dipura Payongan Agung Desa Ketewel Sukawati Gianyar” menyatakan bahwa Tari Legong merupakan tarian yang seni karena ditarikan oleh satu orang dan perempuan, yang gerakannya luwes dan lambat. Dalam pementasan tarian ini tidak harus berpatokan kepada satu penari tetapi bias siapa saja selama penarinya tidak dating bulan.
            Kontribusi dengan penelitian ini yaitu memiliki persamaan dan perbedaan, persamaannya yaitu sama-sama menggunakan gerakan yang luwes tetapi perbedaannya yaitu tidak sembarang orang yang bias menarikan ini tetapi dalam penelitiannya Ekayanti bolah siapa saja selama tidak ada halangan atau datang bulan.
Dewi Ratna Sari (2009) dalam penelitiannya “Nilai-nilai Pendidikan dalam Pementasan Tari Lelegongan Dipura Desa Adat Kampial” menyatakan bahwa Tari Legong Adalah tarian yang lembut, dan suci yang ditarikan oleh perempuan dengan diiringi dengan gambelan.tarian ini juga mengadung arti yaitu sebuah tarian yang melambangkan keagungan seorang wanita yang disimbulkan dengan sebuah tarian yang tidak sacral karena tarian ini dipentaskan sebagai pelengkap dalam upacara.
            Kontribusi dengan penelitian ini yaitu memiliki persamaan yaitu tarian ini ditarikan dengan lembut dan diiringi dengan gambelan. Dan pementasan tarian ini sama-sama ditarikan oleh seorang perempuan.
            Ayu Selvia Dewi (2009) dalam penelitiannya “Nilai-nilai pendidikan dalam Tari joged didesa samsam, tabanan kerambitan” menyatakan bahwa tari jogged merupakan tarian yang ditarikan oleh satu orang dengan diiringi gambelan dan ada juga pengibing, pengibing ini bisa cewek ataupun cowok.
            Kontribusi dengan penelitian ini sama-sama ditarikan oleh satu orang penari perempuan. Adapun perbedaannya yaitu dalam penelitian nilai-nlai nilai pendidikan dalam tari joged didesa samsam menggunakan pengibing yang bebas sedangkan dalam penelitian ini pengibing ditetapkan yaitu pemangkunya sendiri.
Bandem (1996) dalam bukunya yang berjudul Tari bali menyatakan tentang kategori tarian bali yang di klasifikasikan menjadi 3 yaitu Tari Wali (sakral), Bebali (untuk ritual), Balih-balihan (untuk hiburan) Tari Wali dipentaskan dalam kaitan dengan upacara dewa yadnya yang khusus ditunjukan kepada ida sang hyang widhi di pura tertentu, seperti tari rejang. Tari Bebali dipentaskan dalam kaitan upacara ritual baik upacara manusa yadnya maupun pitra yadnya seperti wayang dan gambuh. Sedangkan tari balih balihan dipentaskan sebagai hiburan yang digunakan sebagai pencarian uang seperti arja, rembon dan janger.
            Kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan adalah sebagai bahan bandingan dalam mengkaji dan memaknai kayakinan yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Cengiling dalam tradisi mesolah tari gandrung pada rahina purnama. Hal ini dikarenakan bahwa pementasan tari gandrung ini memiliki nilai sakral seperti apa yang di ucapkan bandem dalam buku nya.
            Parmajaya (2007) dalam bukunya yang berjudul Seni sakral menjelaskan bahwa seni tari adalah seni yang dalam proses perwujudannya melalui gerak tubuh yang lemah gemulai atau sesuai dengan karakter ide awal sang koreogarafer didalam proses penciptaan seni tari. Tari selalu dihubungkan dengan kegiatan ritual keagamaan baik dewa yadnya, manusa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, buta yadnya diciptakan sesuai dengan kebutuhan dari aktivitas ritual keagamaan yang dilaksanakan .
            Kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan adalah sebagai bahan pembanding dalam mengkaji berbagai kegiatan ritual dalam proses keagamaan yang dilakukan dilingkungan Banjar Cengiling.
            Mencermati beberapa kajian pustaka tersebut diatas, maka dapat diklasifikasikan mengenai kontribusi tersebut terhadap penelitian yang dilakukan yaitu sebagai bahan banding dan pedoman baik konsep dan teori mengkaji keberadaan Tari Gandrung berkenaan dengan upacara keagamaan Umat Hindu, sehingga mendapatkan data yang akurat dan jelas.



           
2.2 Konsep
            Menurut Poerwadarmita (1993:520) menyatakan bahwa konsep yang berarti rancangan atau buram. Konsep berfungsi menyederhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal dan kata-kata benda maupun gejala sosial yang yang digunakan, agar orang lain membaca dapat segera memahami maksud sesuai dengan keinginan penulis. Konsep penting dalam penelitian ilmiah, karena kejelaskan konsep dapat menyebabkan terjadinya interaksi positif antara peneliti dengan pembaca. Jelasnya pengutaraan konsep definisi atau istilah tersebut dapat memperlancar komunikasi antara penulis dan pembaca yang ingin mengetahui isi tulisan atau isi penelitian .
Dalam penelitian “Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling ( Persepektif Pendidikan Agama Hindu)”, maka konsep yang dikemukan adalah sebagai berikut:
2.2.1 Tradisi
            Pengertian Tradisi dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2007:128) adalah (1) adat, kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalnkan dalam masyarakat, (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan paling baik dan benar, perayaan hari besar agama itu janganlah hanya dirayakan  tapi haruslah dihayati maknanya, berkelompok dalam masyarakat.
            Menurut kamus Besar Bhasa Indonesia (Poerwadarminta, 1984:542) menjelaskan tradisi dapat diartikan sebagai adat istiadat turun-temurun yang telah dilaksanakan oleh nenek moyang, tradisi juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang menurut adat. diIndonesia terutama diBali, tradisi disamakan dengan adat istiadat dan sangat sulit dipisahkan dengan kebudayaan, bukan saja antara tradisi dan budaya yang sangat sulit dipisahkan, dengan agama pun sungguh terkadang sanggat tidak mudah untuk dipisahkan, karena seakan lebur dalam satu kesatuan yang sulit dipisahkan, hanya dapat diraba sedikit dari perbedaan.
            Tradisi menurut Soekanto dalam Supardan (2009:207) merupakan suatu pola perilaku yang telah menjadi suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercayaan yang serta turun temurun. Namun sebuah tradisi tidak selalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan bertentangan dengan nilai hak asas manusia secara universal.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat Penulis katakan bahwa Tradisi berarti suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat baik dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau dari suatu agama yang sama.
2.2.2 Mesolah
            Didit Hendrawan (2004:25) menyatakan bahwaMesolah berasal dari kata Solah yang artinya tingkah atau akting. Yang artinya sebagai petunjukan yang dipersembahkan untuk para Dewa sehingga bersifat sakral dan tidak sembarang orang dapat menarikannya, hanya orang-orang yang terpilih yang dapat ikut mesolah. Selain itu mesolah juga dapat terjadi kepada anak-anak maupun orang dewasa. Mesolah ini didigunkan disetiap upacara agama Umat Hindu.
            Jadi dapat disimpulkan bahwa Mesolah merupakan tarian sakral yang ditarikan oleh orang yang diturunkan atau orang-orang yang terpilih saja.
2.2.3 Tari Gandrung
Tim Abdi Guru, (2004:145) menyatakan bahwa TariGandrung jika di tinjau dari asal katanya terdiri dari kata tari dan kata Gandrung, istilah tari sesungguhnya telah sebagian besar di ketahui oleh masyarakat pada umumnya yaitu sebuah gerak yang terangkai dan berirama sebagai ungkapan jiwa dan ekspresi manusia yang di dalamnya terdapat unsur keindahan wiraga/tubuh, wirama/irama, wirasa/ penghayatan, dan wirupa/wujud. Jadi dapat penulis uraikan bahwa Tari Gandrung adalah suatu tarian yang ditarikan dengan gerakan yang lambat tetapi luwes yang diiringi dengan sebuah gamelan.
Secara umum Tari Gandrung ini adalah sebuah tarian yang ditarikan pada saat pelaksanaan upacara Rahina Purnama.Tari Gandrung biasanya ditarikan oleh seorang perempuan yang masih suci (gadis).Tarian ini ditarikan oleh satu orang dengan gerakan luwes dan sederhana.Penari memakai sarana kipas (kepet) dan kursi. Tari Gandrung ini termasuk dari jenis tari bebali karena berfungsi sebagai pelengkap suatu upacara.
2.2.4 Rahina Purnama
            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesiakata purnama beasal dari kata “purna” yang artinya sempurna berarti bulan yang bundar atau sempurna. Pada Rahina Purnama yang beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang Wulan) yang merupakan hari pensucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan)pujalahbeliau dengan Candra Sthawa Sama Sthawa. Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004:6)
            Putra Manik Aryana ( 2006:9) dalam bukunya yang berjudul wariga menyatakan bahwa Umat Hindu memiliki gari raya yang didasari pada sasihatau bulan yaitu purnama. Hari raya suci ini dirayakan setiap 15 hari sekali setiap bulan.jadi dapat disimpulkan bahwa hari raya purnama bisa ditemui dalam setahun 12 kali. Purnama juga memiliki makna khusus pada sasih-sasi tertentu yaitu pada Sasih Kapat, Sasih Kedasa, dan Sasih Sadha
            Jadi dapat disimpulkan bahwa Rahina Purnama memiliki makna tertentu bagi para dewa, yaitu untuk melakukan yoga. Purnama juga memiliki makna yang khusus setiap sasih. Tarian gandrung ditarikan setiap rahina purnama bukan berdasarkan sasih khusus.

2.2.5 Persepektif
            Kata persefektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya: (1) cara melukiskan suatu bendadan sebagainya. Pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan tinggi). (2) sudut pandang, pandangan gelombang, (pandangan dari sudut satuan kompleks bahasa sebagai wujud yang bergerak, yang mempunyai bagian awal, inti dan bagian akhir), pandangan yang dinamis, medan (pandangan dari sudut satu-satunya bahasa bagaimana satuan-satuan itu berhubungan dengan yang lain disuatu sistem atau jaringan), pandangan ralasional, partikel pandangan dari sudut satuan-satuan bahasa sebagai unsur-unsur yang lepas.
            Jadi dapat disimpulkan bahwa Persefektif mengandung arti sebuah sudut pandang dari kacamata penglihatan penelitian. Sehingga dapat digambarkan apa saja yang sesuai dengan kajian apa yang akan diteliti oleh peneliti. Sudut padangini akan mengarahkan peneliti sesuai dengan persefektifnya. Peneliti itu akan menjadi terarah dan terdapat gambaran yang jelas dari kasus atau permasalahan yang akan diambil dalam penelitian yang akan dilakukan.
2.2.6 Pendidikan
            Zahara Indris dalam bukunya dasar-dasar pendidikan (1981:11) mengatakan pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau menggunakan media dalam rangka memberikan batuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Potensi disini adalah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan.
            Menurut Husein Al Makhzaji dan Turji Tarim bahwa pendidikan adalah  usaha untuk memberikan bimbingan terhadap untuk persiapan-persiapan hidup dari anak didalam kehidupannya. Tidak seorang manusiapun tidak melakukan hal itu kepada anak-anaknya untuk memberikan persiapan masa depanya. Namun demikian pendidikan itu dilaksanakan didalam arena lembaga sekolah dan rumah tangga untuk kehidupan anak-anakbaik laki=laki maupun perempuan( Haji Ansahari,1983:28)
            Jadi dapat disimpulkan bahwa Pendidikan adalah suatu usaha dalam membantu perkembangan anak agar menjadi manusia yang lebih berguna dan memiliki potensi untuk masa depannya.

2.2.7Pendidikan Agama Hindu
Berkaitan dengan pendidikan secara umum, maka di dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-IV, dijelaskan pengertian Pendidikan Agama Hindu dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Pendidikan Agama Hindu Luar sekolah adalah merupakan upaya membina pertumbuhan jiwa masyarakat dengan ajaran Agama Hindu sebagai pokok materi.
2.      Pendidikan Agama Hindu di Sekolah adalah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran Agama Hindu (Parisadha Hindu Dharma Pusat, 1982:21).
Dalam masa Brahmacari ini siswa dididik agar memiliki pribadi mulia, taat dan tekun melaksanakan perintah-perintah guru serta menggunakan dharma sebagai pedoman dalam bertingkah laku untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dan surgawi.
Weda Parikrama ada diuraikan bahwa “kata samsara yang berasal dari kata samkraghan diterjemahkan pendidikan, membiasakan, mensucikan, menjadi sempurna, membentuk indah, memberi pengaruh, upacara pensucian, upacara suci, dan lain-lain. Yang mempunyai arti yang sama dengan kata-kata itu” (Pudja, 1978:31).
Jadi di dalam Agama Hindu pendidikan disebut aguron-guron, upanisad dan samskara. Pendidikan Agama Hindu juga merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menjunjung tinggi akan adanya suatu yang langgeng yaitu Sang Hyang Widhi Wasa serta menganggap bahwa seluruh umat manusia merupakan suatu keluarga besar yang mempunyai suatu tujuan yaitu kembali ke asal-Nya, dengan jalan mengutamakan dharma sebagai suatu pedoman di dalam mengarungi kehidupan ini.
Dari uraian di atas dapat diuraikan bahwa Pendidikan Agama Hindu merupakan suatu ajaran mengenai pendidikan moral budi pekerti yang luhur, dengan harapan agar mencapai perkembangan kepribadian sikap mental dan budi pekerti yang luhur  dengan jalan mengamalkan ajaran-Nya.

2.3  Teori
Teori merupakan alat atau landasan untuk menjawab permasalahan yang diajukan, sehingga jawaban yang dihasilkan merupakan jawaban yang bersifat teoritis dan sistematis. Oleh karena itu landasan teori harus dipahami dalam suatu penulisan karya ilmiah. Terkait dengan definisi tersebut, maka ini akan diuraikan landasan teori, untuk dapat dijadikan pedoman dalam menjawab masalah-masalah pada rumusan masalah yaitu :


2.3.1 Teori Religi
            Koentjaraningrat (2010;49-50) mengemukakan upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sisoal untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat pada tingkat tertua dalam evolusi religi manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia yang bertubu halus sehingga tidak dapat tertangkan oleh panca indra manusia dan mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang menjadi objek penghormatan dan penyembahannya yang disertai dengan berbagai upacara berupa doa, sajian ,atau korban . religi serupa itulah yang oleh taylor disebut animism.
            Para pemeluk suatu religi atau agama sebagian ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacra itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang sekedar melakukannya.Motovasi mereka tidak untuk berbakti kepada dewa atau tuhannya namun untuk menalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah kewajiban social. Jadi teori religi digunakan dalam membedah permasalahan serta mengetahui bagaimana proses pelaksanaan tari gandrung pada rahina purnama.
            Teori religi dapat digunakan untuk membedah permasalahan yang pertama yaitu bagaimana Proses Pementasan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling.


2.3.2 Teori Motivasi
            Untuk mengetahui apa motivasi masyarakat dalam melaksanakan Tari Gandrung, maka kita harus mengetahui pengertian motivasi. Ngalim Purwanto (2013:60) mengemukakan yang dimaksud dengan motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks didalam suatu organisasi yang mengarahkan tingkah laku atau perbuatan kesuatu tujuan atau perangsang.
            Tujuan motivasi adalh untuk menggerakan atau mengunggah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dpat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. Semakin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, maka makin jelas pula bagaimana tindakan motivasi itu dilakukan tindakan motivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan disadari oleh yang dimotivasi.
            Motivasi mempunyai peranan penting dalam segala hal, antara lain dalam melsanakan ajaran agama. Setiap orang pasti mempunya motivasi pasi dalam melakukan sesuatu. Motivasi itu terjadi apa bila kita tertarik akan sesuatu dari hati nurani kita, bukan karena paksaan dari orang lain.
            Teori motivasi dapat digunakan untuk membedah permasalahan yang kedua yaitu apakah motivasi masyarakat Dilingkungan Banjar Cengiling dalam Pementasan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatn Kuta Selatan Kabupaten Badung.



2.3.3 Teori Nilai
            Untuk memenuhi nilai-nilai yang terkandung dalam upacara rahina purnama maka terlebih dahulu akan diuraikan pengertian nilai sebagai pijakan untuk membahas lebih jauh. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian nilai adalah: ( 1 ) harga (dalam arti dafsir harga) ; ( 2 ). Harga sesuatu (misalnya rupiah ditukar dengan dolar amerika sekarang mempergunakan alat hitung) ; ( 3 ). Kadar mutu sedikit isi misalnya makanan yang penting berguna bagi kemanusian ( W.J.S Poerwardarminta,1985:96).
            Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi emosional dan gabungan dari dua aspek ini yang menentukan suatu nilai berserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam kombinasi pengabsahan terhadap suatu tindakan unsur intelektual yang dominan, maka kombinasi nilai itu, disebut norma atau prinsif. Namun dalam keadaan tertentu dapat saja unsure emosional yang lebih berperan sehingga seorang larut dalam dorongan rasa (Jalalluddin,2005:255).
            Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indera, tingkah laku dalam perbuatan manusia dalam suatu yang mempunyai nilai itulah yang d, tingkah laku dalam perbuatan manusia dalam suatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indera karena itu bukan fakta yang nyata. Jika kita kembali pada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar atau tidak benar. Keberan adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan dan kepuasan. Persoalan nilai bukanlah membahasa kebenaran atau kesalahan akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang dan tidak senang. Masalah keberan tidak lepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika.Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika.
            Teori nilai dapat digunakan untuk membedah permasalahan yang ketiga yaitu Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dari PementasanTtari Gandrung Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.

















BAB III
                   METODE PENELITIAN
            Menu(3:1), menyatakan bahwa penelitian merupak suatu kegiatan ilmiah yang sangat rut Djam’an Satori (201 penting bagi pengembangan ilmiah dan bagi pemecahan suatu masalah. Beberapa ilmuan memulai kegiatan ilmiahnya dengan melakukan penelitian.Penelitian menjadi alat ilmuan untuk mengungkapkan tabir yang ada dibalik fenomena yang terjadi sehingga terungkap beberapa kebenaran yang sesungguhnya dan dapat dihasilkan pengetahuan baru yang bermanfaat.Disamping itu, penelitian sangat berguna bagi pemecahan suatu masalah dengan mengambil pelajarandari temuan penelitian.
            Melalui penelitian yang seksama dan sistematis, para ilmuan dapan menemukan berbagai gejala atau praktik yang dapat dijadikan solusi terbaik bagi upaya pemecahan suatu masalah.Aktivitas penelitian merupakan suatu tahapan yang terus diikuti yang tiap langkahnya merupakan pengalaman yang menambah wawasan baru.Bukanlah semakin banyak pengalaman orang, semakin bertambah pengetahuan, semakin banyak alternative untuk memecahkan masalah.

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, seperti yang dijelaskan oleh Sugiono (2007:15) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang dilandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, dengan maksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Penelitian kualitatif menekankan pada keaslian, tidak bertolah dari teori deduktif melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya (Ali, 2002:58-59). Selanjutnya Moleong (1993:4) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar ilmiah atas pada kontek dari suatu sentuhan. Hal ini berarti bahwa penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk memahami memberikan tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya.
3.1.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dugunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis dan pendekatan teologis. Pendekatan sosiologis digunakan untuk meneliti prosesi dan bentuk upacara Tradisi Mesolah Tari Gandrung yang ada Dilingkungan Banjar Cengiling. Sedangkan pendekatan teologis digunakan untuk meneliti nilai-nilai teologi yang terkandungpada sebuah simbol yang digunakan oleh masyarakat dalam pembuatan upakara sebagai sarana pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi.
3.2 Lokasi Penelitian
Agar memperoleh data yang akurat untuk menunjukan suatu penelitian, maka data yang diperoleh secara langsung pada sumbernya, oleh sebab itu perlu ditentukan sumber-sumber penelitian yang akan dijadikan suber penelitian. Sugiyono (2007:224) menyatakan bahwa lokasi penelitian merupakan setting atau tempat penelitian akan mencari data.
Mencermati pengertian tersebut diatas, maka lokasi penelitian adalah ruang lingkup dari tempat diadakan penelitian. Berkaitan dengan penelitian ini lokasi yang ditetapkan yaitu Dilingkungan Banjar Cengiling.

3.3 Jenis dan Sumber Data
            Data merupakan bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan informasi atau kerangka, baik kualitatif maupun kuantitatif yang menunjukan fakta (Ridwan,2004:20). Data adalah sesuatu yang ditemukan dilapangan dalam suatu penelitian, dimana perlu diolah dengan berbagai cara atau metode untuk dapat menghasilkan sebuah informasi. Terkait dengan data berikut akan diuraikan beberapa hal:
3.3.1 Jenis Data
            Jenis data ada dua yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data Kualitatif adalah data yang berhubungan dengan katagorisasi, karakteristik yang berwujud pernyataan atau atau berupa kata-kata. Data Kuantitatif adalah data yang berhubungan dengan katagorisasi, karakteristik yang berwujud angka (Ridwan,2004:20) berkaitan dengan penelitian ini data yang digunakan adalah data kualitatif karena jenis data tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung, data yang disajikan dalam bentuk kata-kata yang mengandung makna dimana dalam penentuan data tidak menggunakan perhitungan rumus atau data berupa angka.
3.3.2 Sumber Data
            Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, orang-orang diamati merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat mealui catatan tertulis atau melalui perekaman vidi, pengambilan foto atau film. Selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Loflanddalam Moleong,2007:167), dalam penelitian ini menggunakan dua suber data yaitu:
3.3.2.1 Data Primer
            Data primer didapat dari hasil wawancara atau interview dan obserfasi pada saat penelitian berlangsung.Pada saat interview digunakan system snow ball sampling yaitu system bola salju dengan tetap memperhatikan kualitas data yang didapat dari informan. Selaitu system wawancara yang dipakai adalah wawancara yang terstruktur, yaitu peneliti mempersiapak pertanyaan, pertanyaan yang akan diajukan dengan mengacu pada data yang ingin diperoleh. Keterangan-keterangan data penelitian diperoleh dari narasumber pakar dan ahli dibidangnya yaitu tokoh atau seniman yang menggeluti keseniman Gandrung Dilingkungan Banjar Cengiling.
3.3.2.2 Data Sekunder
            Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau penunjang.Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literature-literatur yang relefan dari objek penelitianberupa objek penelitian berupa dokumen, hasil penelitian, artikel, serta sumber pustaka lainnya yang berkaitan dengan objek. Sehingga nantinya pada pembahasanya akan dipadukan data premier dengan data sekunder sehingga didapat data yang benar-benar falid.

3.4 Subjek dan Objek Penelitian
            Didalam penelitian pasti memiliki tujuan dan berfokus terhadap suatu hal, hal tersebut dibagi atas dua yaitu:
3.4.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama dalam penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variable-variabel yang diteliti. Subjek penelitian pada dasarnya, adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian, apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih dalam jangkuan sumber daya, maka dapat dilakukan studi populasi, yaitu mempelajari seluruh subjek secara langsung, sebaliknya apabila subjek penelitian sangat banyak dan berada diluar jangkuan suber daya penelitian, maka dapat dilakukan studi sampel, (Azwar,2007:35)
            Pendekatan subjek penelitian adalah suatu metode yang khusus dipergunakan untuk melakukan pendekatan pada subjek penelitian.Dalam subjek penelitian ini terdiri dari Bendesa Adat, Kelian Desa, tokoh-tokoh masyarakat yang diyakini mampu memberikan informasi yang terkait dengan masalah yang dihadapi.Sesuai dengan langkah-langkah dalam penelitian, setelah subjek penelitian ditentukan maka selanjutnya dilakukan pendekatan, pendekatan ini dilakukan karena gejala yang menjadi subjek penelitian yang mendukung dapat memiliki sifat-sifat atau keadaan yang berbeda-beda.
3.4.2 Objek Penelitian
Menurut Hamidi (2004:20) objek penelitian adalah setiap gejala atau peristiwa yang akn diteliti, apakah itu gejala alam  (natural fenomena)maupun gejala kehidupan (efek fenomena)
Berdasarkan batasan dan cakupan dari suatu penelitian kualitatif, objek penelitian yang tentang bentuk, motifasi dan nilai-nilai pendidikan agama hindu dalam Pementasan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung..
3.5 Teknik Penentuan Informan
            data yang ingin dikumpulkan adalah data yang diperoleh dari beberapa informan yangdimaksud adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (moleong,2000:90) penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan tekhnik purposif (purfosif sampling) yaitu penentuan informan berdasarkan kemampuan informan bersangkutan untuk secara akurasi memberikan data yang diperlukan sesuai tujuan penelitian.
            Tekhnik nilai dalam penentuan informan dari penulisan skripsi ini adalah tekhnik snowball yaitu penentuan berdasarkan tekhnik bola salju bergulir, lebih jauh dapat dilaksanakan bahwa tekhik bola salju dari informan kunci dimintakan informasi tentang informan selanjutnya. Dari informan kedua kembali diminta keterangan mengenai informan berikutnya, demikian seterusnya sampai data yang diperlukan dianggap memadai adapun tekhnik pelaksanaan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diantaranya :
1.      menetapkan informan yang hendak di wawancarai. Dalam penulisan skripsi yang menjadi informan adalah tokoh tokoh umat seperti kelian banjar, bendesa, pemangku, penyerati (tukang banten), para seniman wayang serta masyarakat di lingkungan banjar cengiling yang dianggap mampu memberikan informasi tentang tarian gandrung.
2.      Mempersiapkan pokok-pokok masalah yang kan menjadi bahan pembicaraan atau yang biasa disebut pedoman wawancara.
3.      Mengawali atau membuka alur wawancara kemudian melangsungkan dengan memperhatikan pedoman wawancara.
4.      Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.
5.      Menulis hasil wawancara yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber sebagai bahan acuan dalam penulisan skripsi.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan kegiatan pencatatan suatu peristiwa-peristiwa, keterangan-keterangan maupun karakteristik sebagian, seluruh elemen atau populasi yang akan mendukung penelitian (Hasan, 2002:80).Dalam buku Metode Penelitian dinyatakan bahwa data adalah bahan mentah yang akan diolah (Suryabrata, 2003: 38). Dalam pengumpulan data digunakan beberapa teknik, antara lain:
3.6.1 Observasi
Metode Observasi merupakan suatu proses yang komplek, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologi, pengamatan yang tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam lain (Sugiyono, 2002: 138). Dalam Buku Metodologi Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi disebutkan, teknik observasi adalah ”suatu cara pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati langsung terhadap objeknya atau pengganti objeknya”(Gorda,1994: 84). Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa teknik observasi adalah pengumpulan atau pencarian data dengan jalan mengamati langsung objek penelitian.Peneliti harus mencatat atau merekam segala hal yang terjadi dalam pengamatan, hal ini sangat penting dilakukan agar tidak kehilangan data, salah duga atau lupa.
Observasi yang dilakukan di sini adalah observasi nonpartisipan.Yang dimaksud dengan observasi nonpartisipan adalah pengamatan dimana peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen (Sugiyono, 2002: 140).Pada tahap ini yang diobservasi adalah pementasan tari yang dilakukan oleh penari, dalam hal ini adalah Tari Gandrung.
3.6.2 Wawancara
“Metode wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam tanya-jawab secara langsung antara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Metode wawancara dipergunakan dalam suatu penelitian guna memperoleh data yang lebih obyektif dengan pencatatan yang sistematis sebagai tujuan penelitian” (Sutrisno, 1986 : 193). “Wawancara atau tanya-jawab dilakukan oleh dua pihak yang memiliki kedudukan yang berbeda antara pencari informasi dan pemberi informasi biasanya dilakukan terhadap beberapa tokoh yang dianggap lebih tahu dan mampu memberikan informasi, pendapat dan pandangan tentang suatu permasalahan secara sistematis” (Sedarmayanti, 2002 : 66). Dalam penelitian yang mengkaji tentang Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Tari Gandrung pada Rahina Purnama di Pura Pesambhyangan Dalem Balangan Lingkungan Banjar Cengiling, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung yang diwawancarai adalah, tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang mengetahui tentang keberadaan Tari Gandrung.  Dalam teknis wawancara digunakan teknik wawancara bebas dan perorangan yang sifatnya tidak terstruktur, mengingat bahwa ada bermacam-macam teknik dalam wawancara seperti : wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data, wawancara tersebut digunakan dengan tujuan data yang didapatkan dari responden dapat dikembangkan serta mendapatkan data yang lebih mendalam tentang obyek yang diteliti. Wawancara sesuai prosedur atau wawancara terstruktur yaitu  wawancara yang dilakukan dimana seorang pengumpul data telah mempersiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya telah disiapkan. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang yang dipandang tahu tentang Tari Gandrung yaitu para pemangku, tokoh masyarakat, dan beberapa penari yang menarikan tari Gandrung.

3.6.3 Studi Kepustakaan
            Nawawi (1993:133)menyatakan bahwa teknik kepustakaan adalah teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam serta mengadakan segala macam pencatatan secara sistematis. Dengan teknok ini data yang diperoleh dengan cara atau jalan membaca buku-buku tentang teori dan tentang tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, kemudian dibantu dengan teknik penulisan secara sistematis.
            Teknik ini dipergunakan untuk penelusuran berbagai litelatur dan menelaah yang ada kaitannya dengan dengan tema penelitian ini. Manfaat penelusuran litelatur tersebut adalah untuk menggali teori-teori serta konsep-konsep yang telah ditemukan oleh para ahli yang terdahulu, selalu mengikuti perkembangan selanjutnya. Berdasarkan teknik kepustakaan, maka penulis berusaha membaca buku-buku yang relevan dengan penelitian ini sehingga memperoleh data penelitian.
             Data yang dikumpulkan dari kepustakaan ini diinginkan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi dilapangan dalam karya ilmiah mengenai Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
3.6.4 Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah “cara memperoleh data dengan jalan mengumpulkan segala macam dokumen dan melakukan pencatatan secara sistematis” (Agung, 1999 : 74). “Teknik dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsif, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah penelitian atau dokumenter” (Zuriah, 2006 : 191).
Dengan demikian teknik dokumentasi sangat membantu dalam pengumpulan materi yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.Dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan adalah buku, awig-awig, foto-foto dan kamus.

3.7Teknik Analisis Data
Setelah langkah-langkah penemuan data diatas dilakukan, lalu dilanjutkan dengan menganalisis data. Data yang diperoleh harus diolah terlebih dahulu sehingga penelitian yangdilakukan dapat dipertanggung jawabkan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan deskriptf analisis data.
3.7.1 Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan pola. Dengan demikian data yang telah direduksi akan member gambaran yang lebih jelas, data mempermudahpeneliti untuk melakukan pegumpulan data selanjutny, dan mencarinya bila diperluka (Sugiyono, 2007:247).
3.7.2 Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja, selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut (Sugiono,2007:249).
3.7.3 Mengambil Kesimpulan
Langkah ketiga dalam menganalisis data kualitatif menurut Miles and Huberman adalah penarikan kesimpulan data verifikasi. Kesimpulan awal yang diketemkan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak diketemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apa bila kesimpulan yang ditemukan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsistensaat penelitian kembali dilapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang diketemukan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono,2007:252).
























BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
            Penelitian tentang Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung. Terkait dengan gambaran umum objek penelitian, berikut ada beberapa hal yang diuraikan, yaitu:
4.1.1 Letak Geografis
Menurut Adnyana letak geografis, Banjar Cengiling adealah salah satu banjar yang menjadi bagian dari Desa Jimbaran. Luas kawasan Banjar Cengiling memiliki wilayah 150ha. Banjar Cengiling tepatnya berada diDesa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung. Keadaan wilayah Banjar Cengiling dibagi menjadi 6 tempekan, tempekan ini berfungsi untuk mempermuda kelian banjar dalam mengatur warga masyarakat karena jumlahnya yang banyak.
            Dilihat dari orbitrasinya dari pusat pemerintahan, posisi Banjar Cenggiling:
1.      Jarak dari Kelurahan                                                   : 10km
2.      Jarak dari Kecamatan                                                  : 12km
3.      Jarak dari pusat pemerintahan Kabupaten Badung    : 55km
Wilayah Banjar Cengiling merupakan wilayahnya yang seluruhnya merupakan daratan rendah. Dengan ketinggian 100meter diatas permukaan laut. Banjar Cengiling memiliki iklim tropis dengan dua musim, 6bulan musim kemarau dan 6 bulan musim hujan ( wawancara tanggal16  maret 2015)
Mengenai batas-batas wilayah banjar cengiling dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Sebelah Utara              : Desa Jimbaran
2.      Sebelah Timur             : Desa Ungasan
3.      Sebelah Selatan           :Desa Pecatu
4.      Sebelah Barat              : Pantai Balangan
4.2.2Kependudukan
Data kependudukan Banjar Cengiling berdasarkan monografi Banjar Cengiling tahun 2014, jumlah penduduk 572 dengan 98 kepala keluarga dengan yang tersebar dalam satu banjar cengiling. Meskipun terdapat dualisme sistem pemerintahan ditingkat desa yakni desa adat dan desa dinas, namu secara prinsip keduamya itu merupakan suatu kesatuan yang artinya semua pihak mempunyai tanggung jawab dan keterkaitan yang sangat kuat antara satu dengan yang lainya saling menunjang dan melengkapi pelaksanaan tugas masing-masing.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Lingkungan Banjar Cengiling
No
Jenis Kelamin
Jumlah Jiwa
1
Laki-laki
295
2
Perempuan
280

Jumlah
575
Sumber : Profil Desa Tahun 2014

4.2.3        Sistem Kepercayaan
kepercayaan atau agama dilingkungan banjar cengiling sangat beragam, mayoritas masyarakat beragama hindu, namun selain beragama hindu agama lain seperti agama islam, kristen juga rukun dilingkungan banjar cengiling. Berdasarkan data tahun 2014 yang terdapat dilingkungan banjar cengiling sebagai berikut:
            Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama/Keyakinan
No
Agama
Jumlah Penganut
1
Agama Hindu
556
2
Agama Islam
11
3
Agama Kristen
    8

Jumlah
575
Sumber : Profil Desa Tahun 2014
4.2.4        Keadan Penduduk Menurut Usia
Dari keseluruhan jumlah penduduk dilingkungan banjar cengiling tersebut diatas, jika dikelompokan kedalam keadaan penduduk menurut usia, maka akan didapatkan data sebagaimana terpampang dalam tabel berikut
            Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Usia
No
Kelompok Usia (Tahun)
Jumlah (Orang)
1
  0 - 3 tahun
21
2
  4 - 6 tahun
65
3
  7 - 12 tahun
87
4
13 - 15 tahun
68
5
16 - 18 tahun
90
6
19 – keatas
244

Jumlah
575
Sumber : Profil Desa Tahun 2014
4.2.5  Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian
            Dilihat dari kelompok mata pencaharian hidupnya, penduduk lingkungan banjar cengiling pada umunya disekitar non formal, terutama bekerja dalam bidang pertukangan, disusul dengan kariawan swasta. Tabel berikut ini dapat memberikan data tentang mata pencaharian hidup penduduk dilingkungan banjar cengiling:
            Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah/ jiwa
1
Pegawai Negeri Sipil
15
2
Swasta
89
3
Wiraswasta/Pedagang
35
4
Nelayan
12
5
Pertukangan
77
6
Pensiun
15
Sumber : Profil Desa Tahun 2014

4.2.6        Jumlah Penduduk Menurut TingkatPpendidikan
Dilihat dari jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan, diLingkungan Banjar Cengiling lebih banyak pendidikannya hanya samapai SMP saja. Berikut data tingkat pendidikan diLingkungan Banjar Cengiling:
            Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
NO
Tingkatan Pendidikan
Jumlah
1
Tidak bersekolah
40
2
SD
22
3
SMP
280
4
SMA
175
5
Perguruan Tinggi
34

                                       Total
551
Sumber : Profil Desa Tahun 2014

4.2. Proses Mesolah Tari Gandrung
Dalam pementasan tari Bali, melalui proses dan tahapan-tahapan yang dilakukan, begitu pula pada pelaksaan mesolah tari Gandrung melalui beberapa proses yaitu:
4.2.1        Waktu Pelaksanaan
Berhasil tidaknya suatu pelaksanaan upacara yadnya sangat ditentukan oleh waktu dan tempat pelaksanaan upacara itu sendiri. Tanpa melihat waktu dan tempat untuk melaksanakan suatu kegiatan upacara akan dapat menimbulkan ketidak berhasilan. Untuk itu kita hendaknya dapat memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Ada ungkapan menyatakan bahwa’waktu adalah uang’, maka dari itu manfaatkan waktu itu dengan baik kita harus bisa mengatur waktu sesuai dengan kebuttuhan dan aktifitas sehari-hari. Demikian pula hal nya dengan pemanfaatan tempat dalam pelaksanaan upacara harus dapat di pilih sesuai dengan upacara yang akan dilaksanakan. Misalnya pelaksanaan upacara ngaben dilaksanakan di kuburan dan bukan dilaksanakan di pura atau di rumah, demikian pula dengan upacara yadnya yang lainnya.
Dalam segala kegiatan upacara yadnya, umat hindu pada umumnya dan umat hindu di bali pada khususnya mengenal ada hari baik dan hari buruk. Dimana hari baik merupakan hari yang sangat menguntungkan didalam melaksanakan upacara yadnya dan hari buruk merupakan hari yang dapat membawa penghalang didalam melaksanakan suatu yadnya, penentuah hari baik dan hari buruk itu disebut dengan padewasaan.
Sarna menyatakan dalam pelaksanaan mesolah tari Gandrung dilaksanakan setiap bulan yaitu pada  rahina purnama. Dilaksanakan setiap purnama, karena purnama merupakan hari yang baik untuk melaksanakan persembahyangan bersama dan melaksanakan pementasan Tari Gandrung tersebut (wawancara tanggal 16 maret 2015)




4.2.2 Sarana dan Prasarana
      Dalam setiap suatu kegiatan Upacara atau pementasan seni tari akan memiliki sarana dan prasana yang akan diperlukan. Berikut ini sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung, yaitu:
4.2.2.1 Pakain Penari Gandrung
Busana yang digunakan dalam Tari Gandrung ini diantaranya adalah
1.      Gelungan yaitu hiasan yang digunakan dikepala berwarna emas, bentuk gelungan tari gandrung hampir sama dengan gelungan penari legong dan jogged.
2.      Gelang Kana yaitu hiasan kecil yang digunakan dilengan dan diujung baju pada pergelangan tangan.
3.       Baju putih berlengan panjang
4.      Badong yaitu hiasan pada leher yang bentuknya bundar yang dibuat dari buludru, dihiasi dengan mote-mote.
5.      Sabuk Perada yaitu sabuk yang terbuat dari kain perada dan digunakan melilit pada pinggang penari.
6.      Kamben atau kain prada
7.      Ampok-ampokyaitu hiasan yang digunakan dipinggang berwarna emas.
8.      kipas atau kepet
9.      kursi yang dilapisi kain prada
Untuk antol penari tidak menggenakan antol buatan, penari menggunakan antol dari rambut aslinya.
4.2.2.2 Gambelan
Menurut Sukadi sebuah pertunjukan hubungan antara tarian dan music tidak dapat dipisahkan, karena music memiliki peranan penting untuk memberikan irama dan akses-akses dalam pementasan. Tanpa adanya musik iringan, maka sebuah pertunjukan tarian tidak akan sempurna. Tidak semua instrument atau alat music gamelan dipergunakan dalam tarian gandrung. Instrument yang umum dipergunakan dalam tarian gandrung yang ada di lingkungan banjar Cengiling, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung adalah kendang, Ugal, Jublag, Kantil, Jublag, Jegogan, Gong dan kempur. Dalam tarian gandrung tidak di pergunakan terompong, reong dan seluring yang biasanya umum dipergunakan dalam berbagai jenis tarian lain di bali (wawancara tanggal 18 Maret 2015).
4.2.2.3 Syarat-syarat Menjadi Penari Gandrung
Menurut Sarna untuk menjadi penari Gandrung, tidak semua orang bisa menarikannya, hanya orang-orang tertentu yang bisa menarikannya. Adapun syarat untuk menjadi penari Gandrung yaitu:
1.      Yang menarikan Gandrung harus perempuan
Dipilih perempuan karena, perempuan dianggep lebih lebut untuk menarikannya ketimbang pria atau laki-laki.
2.      Yang belum menginjang remaja ataupun remaja
Yang ingin menari Gandrung diharuskan masih gadis, tetapi remaja diperbolehkan ikut selama belum lulus SMP. Dipilih masih gadis atau remaja yang belus lulus SMP karena dianggap masih bisa mengendalikan dirinya sendiri.
3.      Kerauhan
Kerauhan disini yaitu pada saat pemilihan penari dilaksanakan pada saat piodalan diPura Dalem Balangan, para penari menarikan rejang dengan serempak, jika ada salah satu yang menarinya dengan beda yaitu menarikan gandrung bukan menarikan rejang, maka penari itulah yang terpilih untuk menjadi penari Gandrung.
4.      Berhenti menjadi penari Gandrung
Dimaksudkan disini yaitu jika penari telah lulus SMP maka penari akan dengan sendirinya tidak bisa untuk menarikan Gandrung karena penari tersebut dianggap sudah dewasa dan penari akan berpamitan untuk berhenti jadi penari Gandrung (wawancara tanggal 17 Maret 2015)
4.2.3 Tahapan Mesolah Tari Gandrung
4.2.3.1 Lokasi Pementasan
Dalam pelaksanaan pementasan seni memerlukan tempat pementasan, terlebih lagi pementasan tari sakral, tempat untuk pementasan tari ini disebut Kalangan. Setiap kalangan tari di Bali memiliki dasar kepercayaan tersendiri, hal ini tergantung dari jenis tari apa yang dipentaskan. Menurut Susila menyatakan bahwa:
      “Pementasan Tari Gandrung yang berlokasi di Pura Persambian Dalem Balangan memiliki persyaratan yang cukup luas dibuat berdasarkan pengider-ider Idang Sang Hyang Widhi Wasa Nawa Sanga atau Pura Dewa yang bersemayam disembilan arah mata angin yang masih diyakini oleh umat Hindu. Menurut keyakinan umat Hindu selatan merupakan arah gunung dan merupakan turunnya Bhatara Kabeh, serta uatara (laut)adalah merupakann dasar untuk membuat kalangan. Jadi kalangan untuk pertunjukan tari wali biasanya memanjang dari selatan keutara danpara penari dapat mempersembahkan tariannya kehadapan Ida Bhatara Kabeh dan para leluhur. Namun yang sekarang menjadi standr pementasan taribukan sajara arah utara dan selatan, namun bagi beberapa pertunjukan yang bersifat wali biasanya
berhadapan dengan pelinggih”(wawancara tanggal 17 Maret 2015)  .
4.2.3.2 Pemimpin Upacara
Rohaniawan dalam Agama Hindu menempati kedudukan yang penting, peranan rohaniawan tampak sangat menonjol dalam penyelesaian suatu yadnya. Lebih-lebih dalam yadnya yang cukup besar akan terasa kurang sempurna bila tidak diantar oleh rohaniawan yang dipandang sesuai untuk itu. Dalam kehidupan Umat Hindu di Bali dikenal adanya tiga unsure utama yang berperan dalam pelaksanaan suatu yadnya:
1. Yajamana adalah pelaksana atau pemilik yadnya.
2. Pancagra atau Sang Widya adalah para tukang yang berperan dalam menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam bentuk upakara.
3. Sadhaka adalah para rohaniawan yang bertugas mengantarkan yadnya tersebut dengan puja, seha, mantra dan wedanya.
Rohaniawan yang dipandang sesuai untuk mengantar atau menyelesaikan suatu yadnya erat kaitannya dengan besar kecilnya yadnya tersebut. Dalam tingkatan yadnya yang besar patut dielesaikan (dipuput) oleh Sulinggih yautu rohaniawan yang tergolong Dwijati. Sedangkan dalam tingkatan yadnya yang kecil cukup diantar (dianteb) oleh rohaniawan tingkat Eka Jati seperti Pemangku dan yang sejenisnya. Rohaniawan yang bertugas mengantar suatu yanya dalam Agama Hindu dikenal dengan berbagai sebutan. Secara umum sebutan rohaniawan tersebut dibedakan atas dua golongan yautu:
1. Rohaniawan yang tergolong Dwi Jati atau yang disebut dengan Sulinggih dengan sebutan Pedanda, Empu, Dukun, Rsidan sejenisnya.
2. Rohaniawan yang tergolong Eka Jati atau Walaka dengan sebutan Pemangku, Dukun, Pidandita, Balian, Mangku Dalang dan sejenisnya.
Pemangku adalah salah satu rohaniawan yang patut diperhitungkan keberadaannya, pemangku hendak memahami dan melaksanakan Sesanning Kepemangkuannya sehingga sangatlah penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai Sesananing seorang pemangku tersebut. Sesananing pemangku sangat dibutuhkan tuntunan yang sedemikian tinggi dari masyarakat mewajibkan seorang pemangku untuk terus meningkatkan diri dalam bidang spriual maupun berlaksana maupun bertingkah laku sehari-haridalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan sesananya sebagai seorang pemangku.
Kehidupan sebagai pemangku memiliki cirri khusus yang mengikat diebut dengan Sasana yang menjadi kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang dimaksud dengan sasana yang menjadi kode etik Pemangku adalah segala aturan-aturan atau tata tertib yang berhubungan dengan Kawikon (aturan-aturan kehidupan yang patut dilaksanakan oleh seorang pemangku). Dalam agama Hindu sesananing atau kode etik yang mengikat ini mendapat tempat yang paling utama, karena didalamnya tercermin nilai-nilai etika keagamaan, yang selalu dipatuhi. Bagi mereka yang mendalami hidup sebagai pemangku, harus menghayati seluruh aturan-aturan yang mengikat, baik itu melalui sikap perilaku, maupun kemampuan spiritual yang dimiliki sebagai pemangku. Dengan mengetahui sesananing atau kode etik ini, seorang pemangku akan menghadiri penggaran terhadap sesananing atau aturan-aturan kepemangkuan.
Wewenang atau tugas kewajiban serta penghargaan terhadap pemangku berkait erat dengan jenis pura tempat pemangku itu bertugas. Sebagaimana diuraikan dalam Lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun tmpatnya melaksanakan tugas sehari-hari:
1. Pemangku Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung
2. Pemangku Pamongmong
3. Pemangku Jan Banggul
4. Pemangku Cungkub
5. Pemangku Nilarta
6. Pemangku Pandita
7. Pemangku Bhujangga
8. Pemangku Baliana
9. Pemangku Lancuban
10. Pemangku Dalang
11. Pemangku Tukang
12. Pemangku Kortenu
            Didalam konteks melaksanakan dharma Negara dan dharma agama, para pemangku mengemban tugasdan misi suci Tuhan yang sangat mulia. Tugas seorang pemangku adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagian dan kesejahteraan hidup bersama dimasyarakat yang disebut Jagaditha, dengan cara memberikan tuntunan rohani, pembinaan mental spritul serta mampu membantu kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinalah sesungguhnya arti penting dari Loka Phala Sraya yaitu menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang disebut dengan Kasukertha Jagat. Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, juga memohon keselamatan Negara atau yang disebut dengan Ngayasa Jagat dengan cara melakukan pemujaan setiap hari kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana yang dilaksanakan dalam Surya Sewana yang memiliki dua sasaran dan tujuan. Pertama menyucikan diri lahir batin dan kedua memohon keselamatan Negara.
            Seperti yang termuat dalam Lontar Kusumadewa, sebagai berikut:
“Tan wenten mangan ulam: bawi, sapi .ten ada ngamatiang deweke upami:siap, bebek, djang mati, ika pada tan wenang pangan. Ten wenten njelepin longlongan, muah emper-emper, tan wenten nengen tenggala, lampit, tambah, sorok, tjongkod, antuk njelang ring anak siosan, tan wenten wenang njumbah sawa
Tan wenten bobad ring djatam, tan wenang mangan paridan sawa, tan wenang kabala ne misi sawa, muah tan wenang adjejuden.
Mangkana parikramaning larangan pemangku jan sampun nganggen sangkulputih”
Demikian larangan pemangku yang termuat dalam Lontar Kusuma Dewa adapun larangan-larangan yang lain antara lain sebagai berikut:
1. Tidak memakan makanan yang tidak diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi dan minuman beralkohol) maupun makanan yang merugikan kesehatan.
2. Jika bisa dalam rangka menyucikan diri alangkah baiknnya semua jenis daging tidak dimaan.
3. Dilarang menyentuh bendah-benda cemer
4. Dilarang berjudi.
5. Dilarang kawin lagi, namun apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan kembali lagi melaksanakan upacara Pewintenan bersama dengan istri baru.
6. Karena pemangku kena cuntaka maka beliau dilarang perghi kerumah, hal ini tergantung pada Ida Bhata yang Mapica Panugrahan, ada yang melarang hanya saja disertai dengan membuat banten segehan dan melukat setelah datang dari tempat kecuntakean.
      Menurut Sarna pelaksanaan upacara agama Hindu menggunakan seorang pemimpin yang bertugas secara langsung mengantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai nama salah satunya dengan sebutan pemangku. Pemangku adalah rohaniawan yang bertugas selaku pembantu untuk memimpin saat upacara berlangsung. Agama Hindu memiliki pemangku dengan tugasnya masing-masing.
Begitu juga dengan pelaksanaan mesolah Tari Gandrung memiliki pemangkunya masing-masing. Jro Mangku Sarna adalah Jro Mangku diPura Parsambhyangan Dalem, dalam pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung beliau memiliki tugas sebagai mangku untuk Tari Gandrung yaitu Menghaturkan Piuning untuk penari dan gambelan. Jro Mangku Wintra adalah Jro Mangku diPura Dalem Balangan, dalam pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung beliau memiliki tugas untuk menghaturkan caru bagi penari Gandrung.
4.2.3.3 Upakara
Upakara atau banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah banten yang berada dipungguan yang letaknya dijaba. Adapun banten caru yang merupakan symbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yaitu Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral at Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Bhudi, Manah, Ahamkara atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadaan banten, maka banten yang mewakili Panca Maha Bhuta ini adalah banten yang suguhan seperti Banten Soda atau Ajuman, Rayunan Perangkatan dan sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguat yang dijabarkan dengan berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai banten Pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan symbol atma. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Menginggat beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib dan bersifat rahasia, tentu sirat yang demikian sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karena untuk memudahkan komunikai dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Skala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti Daksina Tapakan (Linggih), Banten Caru, Banten Lingga, Peras, Penyeneng , Bebakit, Pula Gembal,Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang menggandung suatu tuntunan agar umt manusia agar mencintai alam berserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuana ali, Beliau juga berstana pada bhuana agung aguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakan seluruh isi alam semesta sebagai perwujudan dari ala mini. Adapun banten-banten sebagai perwujudan alam semesta ini yaitu:
1. Daksina
2. Suci
3. Bebangkit
4. Pula Gembal
5. Tanah Tuwuh
Begitu pula dengan Pementasan Mesolah Taari Gandrung juga mempergunakan beberapa upakara atau banten yang dipergunakan dalam proses sebelum pebentasan tersebut dilaksanakan. Upakara ini dipergunakan agar pelaksanaan Pementasan Mesolah Tari Gandrung dapat terlaksana dengan baik. Menurut Sudeni dalam pementasan Tari Gandrung menggunakan beberapa upakara yaitu:                                                               
Gambar 4.1
                                                Banten Pejati
                  (sumber: Dokumen pribadi tahun 2015)        



1.      Pejati
Daksina upakara ini ada beberapa jenisnya, sebagai alasnya ada yang menyebut Babedogan atau wakul daksina serta serembeng. Didalamnya berisikan tampak, beras, kelapa, uang kepeng dan beralasan kojong adalah telur itik mentah., plawa peselan, gantusan, bija-ratus, pisang mentah, tingkih pangi, base temple, disertai benang putih. Diatasnya diisi sampian payasan serta canang sari.
Banten peras, sebagai alasnya dipergunakan sebuah taledan disamping taledan ada pula disebut sebuah jejaitan yang disebut tali peras atau kulit peras yang ditaruh diatas taledan tadi. Diantara kulit peras ditaruh beras secukupnya, base tampel, benang putih dan dalam upacara yang penting dilengkapi wangi-wangian. Diatas kulit peras itu ditaruh duah buah tumpeng dilengkapi dengan jajan, laik pauk, pisang, tebu, sampian perasdan sebuah canang sari, banten peras ini pada umunya mengikuti banten.
Banten Ajuman atau soda, apabila perlengkapan atau materi dari Banten Nasi tadi diperbanyak atau diperbesar maka disebut dengan ajuman atau sodaan. Adakalanya bentuk tidak runcing melainkan datar yang disebut dengan penek. Penggunaan atau persembahan daripada banten ini yaitu pada tempat atau palinggih yang sifatnyaa lebih penting antara lain: Surya, Kamulan, Taksu, panunggunkarang, dan sthana para leluhur lainnya.
Ketupat kelan yaitu ketupat yang berjumlah enam buah, yang beralaskan ceper, diatasnya berisikan takir yang isinya garam dan tekur ayam yang sudah direbus.
Penyeneng, bentuknya segitiga, terdiri dari dua bagian yang diletakan menjadi satu. Bagian bawahnya disebut dengan Tatakan Penyeneng. Tiap sudutnya diisi tepung tawar, nasi segawu, sesarik serta tetebusan benaang putih. Penyeneng ini selaalu menyertai banten Tataban ataub Ayaban.
Pesucian, banten ini biasanya dipergunakan sebuah Ceper. Biasanya diisikan 5 jenis pembersihan dan masing-masing beralaskan tangkih, dan masing-masing tangkih berisikan payasan yaitu Sigsig terbuat dri jajan begina yang dibakar gosong. Ambu terbuat dari daun pucuk yang dipong halus. Miyik-miyikan yaitu kembang rampe yang berisikan minyak wangi untuk canang, tepung dan uras yang berisikan minyak wangi.
Segehan alit, segehan merupakan koban ata suguhan kepada unsure kekuatan alam atau bhut kal yang dianggap ikut mejaga ketentraman tempat pemujaan. Perlengkapan terdiri dari nasi, bawang dan jahe yang metah, garam serta bunga. Dalam beberapa hal dipergunakan nasi berwarnamerah, putih, kuning, hitam seta campuran dari keempat warna tersebut. Bentuk asi ada yang dikepell disebut dengan nasi kepel. Ada yang berupa jumputan kecil disebut dengan nasi cahcah dan ada pula yang berbentuk binatang, manusia, serta unsure alam lainnya.
Pejati ini dihaturkan dipelinggih untuk memohon kelancaran dalam melaksanakaan mesolah tri Gandrung dan persembahyangan bersama. Pajati ini dihaturkan oleh Jero Mangku Sarna (wawancara tanggal 19 maret 2015) .
2. Caru
            Mecaru (Upacara Byakala) adalah bagian dari Upacara Bhuta Yadnya sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta. Panca Maha Bhuta. Mcaru dilaahat dari tingkat kebutuhannya terbagi menjadi:
Nista adalah untuk keperluan kecil dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dan sebagainya)
Madya adalah selain dilakukan dalam lingkup kekerabatan atau banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya.
Utama adalah dilakukan secara menyeluruh oleh segenap Umat Hindu.
            Caru dalam bahasa Jawa-Kuno (kawi) artinya korban atau binatang, sedangkan “Car” dalam bahasa sansekerta artinya “keseimbangan atau keharmonisan”, jika diraikan maka dapat diartikan  Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan. Keseimbangan dan keharmonisan yang dimaksud adalah terwujudnya Tri Hita Karana yakni keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahayangan), sesame manusia (Pawongan), dan dengan alam semesta (Palemahan). Bila salah satu atau lebih unsure keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu maka perlu diadakan pecaruan. Dalam pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung juga mempergunakan banten Caru.
            Menurut Sudeni banten caru yang dimaksud dalam pelaksanaan Tari Gandrung adalah banten caru yang sederhana. Tempat atau wadah yang digunakan adalah Tamas, tamas merupakan aled yang berbentuk bulat yang terbuat dari Selepahan atau daun kelapa yang sudah tua. Didalam tamas tersebut berikan telur ayam, kelapa yang sudah dibersikan, minyak, tepung tawas, daun dabdab, dan nasi, masing-masing tersebut mempergunakan tempat coblong, dan yang terakhir segehan, segahan disini mempergunakan segehan putih kuning
            Caru ini digunakan untuk penari Gandung agar selamat dalam mementaskan tari Gandrung tersebut. Caru ini juga mempergunakan ayam hitam yang kemudian disembeleh dibawah kaki Penari Gandrung(wawancara tanggal 19 maret 2015) .
4.2.4        Pementasan Mesolah Tari Gandrung
Gambar 4.2
Persembahyangan Bersama
(Sumber: Dokumen Pribaditahun 2015)

            Menurut Wintra Sebelum mulai mesolah, masyarakat untuk semua golongan, dari anak-anak sampai orang dewasa melaksanakan persembahyangan bersama. Persembahyangan ini tidak didasarkan oleh paksaan melaikan dari hati atau keinginan masyarakat yang ingin melaksanakan persembahyangan. Setelah persembhayangan bersama dilaksanakan, selanjutnya penari melalukan tahapan terlebih dahulu sebelum mulai mesolah yaitu:
            “Sebelum dipentaskan Tari Gandrung akan diawali dengan matur piuning yang dipimpin oleh Jero Mangku Sarna. Kegiatan selanjutnya adalah Pejati terhadap penari dan penabuh serta dilanjutkan dengan persembahyangan bersamaagar mesolah tari gandrung berlangsung dengan baik, setelah penari matur pejati maka penari duduk, jero mangku Witra menggunakan caru, caru yang dimaksud disini adalah ayam hitam dan segehan hitam dan segehan tersebut dihaturkan dibawah penari gandrung, kemudian nyembeleh ayam hitam. Setelah caru dihaturkan, penari kemudian duduk dikursi yang biasa digunakan untuk menari bersiap-siap untuk menari”
Tahapan tersebut sudah dilakukan dari awal adanya ditarikan tari gandrung tersebut, bila hal tersebut tidak dilaksanaan, maka penari akan mengalami kerasukan atau kerauhan.
Pementasan Mesolah Tari Gandrung diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung memiliki susunan acara pementasan yaitu sebagai berikut:
1.      Pembukaan, pada saat ini, Tari Gandrung diawali dengan tabuh atau gambelan pertanda bahwa pementasan tari akan segera dimulai penari pun bersiap-siap duduk dikursi


Gambar 4.3
                                    Proses Penari Gandrung Bersiap-siap
           
                        (Sumber: Dokumen Pribadi tahun 2015)

2. Penaribersiap duduk dikursi yang biasa digunkan untuk menari dan penari menarikan tarian Gandrung tersebut



Gambar 4.4
Proses Penari Saat Mengibing
            (Sumber: Dokumen Pribadi tahun 2015)

3.Setelah berselang beberapa saat, penari langsung diibingi oleh para pemangku.













Gambar 4.2
Penari selesai Menari
(Sumber: Dokumen Pribadi tahun 2015)

4. Penupupnya penari menari dan langsung kembali duduk dikursi. (wawancara tanggal 18 mraet 2015)
4.3. Motivasi Masyarakat Melaksanakan Mesolah Tari Gandrung
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketakutan eseorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi adalah intensitas, arah dan ketakutan. Arti motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkan dengan mengerjakan pekerjaan. Motivasi mirip energi yang menggerakan sesuatu. Jika beban dan hambatan menggerakan beban itu lebih besar dibandingkan dengan energy, maka benda tersebut tidak akan bergerak. Begitu juga dengan motivasi pada diri kita, jika beban dan hambatan bertindak lebih besar dibandingkan dengan motivasi kita, maka kita tidak akan pernah bergerah.
Pada pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung, masryarakat di Lingkungan Banjar Cengiling juga memiliki motivasi untuk melakukan kegiatan tersebut. Masyarakat di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
Adapun beberapa motivasi masyarakat Dilingkungan Banjar Cengiling dalam melaksanakan Mesolah Tari Gandrung yaitu:
4.3.1 Melestarikan Kebudayaan
Menurut Ambara menyatakan bahwa Bali banyak warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda.  Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Mengetahui budaya Indonesia akan mendorong setiap warga negara untuk ikut serta melestarikannya. Karena kalau bukan kita bangsa Indonesia, siapa lagi yang mau melestarikan budaya Indonesia. Ini merupakan kekayaan yang diwariskan dari leluhur kita, dan kita patut untuk mengapresiasinya. Salah satu jenis budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tari-tarian. Ada banyak sekali tari-tarian yang dimiliki bangsa Indonesia. Salah satu contoh tarian yang dilestarikan oleh warga dilingkungan Banjar Cengiling adalah tarian Gandrung. Masyarakat termotivasi untuk melaksanakan Mesolah Tari Gandrung ini selain untuk melestarikan budaya leluhur, masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling juga ingin menjauhi yang tidak diinginkan ataukejadian yang dapat merugikan warga diLingkungan Banjar Cengiling (wawancara tanggal 19  maret 2015).

4.3.2 Mengajarkan Generasi Muda Untuk Mengenal dan Melestarika Seni Kebudayaan
Susila menyatakan peran generasi muda dalam mengenal dan melestarikan budaya tentu sangat penting karena seorang pemuda ibaratkan “matahari yang terang dan cahaya yang panas”, dari ungkapan ini kita dapat mengatakan bahwa masa muda adalah masa kekuatan atau masa emas. Namun pada saat ini kita dapat melihat betapa lemahnya peranan pemuda dalam mengenal dan melestarikan budaya. Kita dapat melihat, bahwa pemuda lebih suka budaya modern yang kebarat-baratan dari pada budayanya sendiri.
Disini bagi anak generasi muda dilingkungan banjar cengiling diharapkan selalu hadir dalam kegiatan keagamaan yang ada dilingkungan banjar cengiling, terutama pada saat purnama diharapkan hadir uuk sembahyang berama dan melihat tari gandrung agar bisa mengenal dan nantinya agar dilestarikan. (wawancara tanggal 19 maret 2015)


4.3.3 Meningkatkan Pengamalan Ajaran Tri Hita Karana
Menurut pendapat yaitu Ambara dan Susila  menyatakan bahwa dalam kebudayaan dan seni jaman sekarang, banyak yang bisa kaitan dengan ajaran Agama Hindu. Antara lain Seni Tari Gandrung, dalam Proses Mesolah Tari Gandrung dapat kita lihat pengamalan ajarannya tentang Tri Hita Karana. Tri Hita Karana yang merupakan salah satu konsep dalam ajaran agama Hindu yang selalu menitik beratkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai. Tri Hita Karana juga bisa disimpulkan sebagai tiga penyebab kesejahtraan. Adapun tiga hal tersebut adalah Parhyangan, Palemahan, Pawongan.Konsep Tri Hita Karana ini hanya ada pada masyarakat Bali karena terwujud suatu desa adat dibali bukan saja merupakan persekuatuan daerah dan persekuatuan hidup atas kepentingan bersamadalam masyarakat, namun juga merupakan persekutuan bersama dalam kepercayaan memuja Tuhan. Kesimpulannya ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pembagian konsep ajaran tri hita karana antara lain:
1.      Parahyangan
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan.
Menurut tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan disebabkan oleh sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan timbul dalam hati manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Masyarakat Hindu Bali  Sebagai umat yang beragama yang bernaung dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir batin kepada beliau (sang hyang widhi wasa). Dan utang budhi tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-satunya dharma/susila yang masyarakat Bali lakukan kepada sang hyang widhi wasa yaitu dengan jalan menghaturkan atau rasa terima kasih kepada sang hyang widhi wasa.
            Parhyangan merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan diwujudkan dengan Deva Yadnya. Untuk ditingkat daerah berupa kahyangan tiga jagat, ditingkat desa adat berupa pemerajan atau sangah (Ngurah,dkk,1999:100).
Dengan sujud bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan dan upacara kepada tuhan yang maha esa dengan sesaji sebagai media untuk cara berkomunikasi antara mereka dengan tuhan dan penyembelihan binatang sebagai persembahan kepada sang hyang widhi wasa yang dilakukan oleh masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling.
2.      Pawongan      
Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah  perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat. dalam arti yang  sempit pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan(Ngurah,dkk,1999:100)..
 Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan tuhan, sebagai mahluk sosial masyarakat Bali juga mengajarkan tentang membina hubungan baik dengan sesama Manusia dan mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya. Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan.
            Perilaku yang baik dan saling menghargai antar warga lain itu merupakan perwujutan kita saling menghargai sesama manusia dan warga pada saat pelaksaan Mesolah Tari Gandrung
3.      Palemahan
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal(Ngurah,dkk,1999:100)..
Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Contonya yang bisa dilihat umat Hindu melaksanakan upacara tumpek uye (tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan.
Warga dilingkungan banjar cengiling melaksanakan Mesolah Tari Gandrung adalah untuk menyelaraskan antara warga dengan lingkungan agar bisa saling menjaga terutama menjaga kebersihan pada saat pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung selesai, dengan menjaga kebersihan kita juga bisa menjaga keadaan lingkungan (wawancara tanggal 18 maret 2015).

4.4 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang terdapat Pada Pementasan Tari Gandrung pada Rahina Purnama Dilingkungan Banjar Cengiling
Pada hasil wawancara yang telah dilakukan bersama pemangku dan warga di lingkungan banjar Cengiling serta beberapa referensi dari buku yang telah saya baca ada beberapa nilai pendidikan Agama Hindu, yaitu :
1.      Nilai Tattwa
Manusia dalam kehidupannya berpatokan pada norma atau aturan yang membatasi gerak hidupnya, pengamat idealis berpegang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik hanya menjadi manusia yang bertakwa terhadap Tuhannya. Pembinaan-pembinaan terhadap manusia tersebut dilakka ia secara aktif berada didalam dan melaksanakan hukum-hukum itu, jadi etika adalah noerma-norma, aturan-aturan atau kaidah yang harus diikuti manusia dalam rangka menjalani kehidupan ini.
            Ajaran agama dapat membina umat manusia tersebut dilakukan melalui proses pendidikan baik formal, informal atau nonformal. Manusia bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan adalah manusia yang menghayati dan mengamalkan dan menjalankan ajaran-ajaran Agama yang diperlakukan serta menjauhi segala larangan.
            Ajaran-ajaran Agama harus dipahami dan dihayati karena akan memberi pengaruh, memberi keberanian serta kepahaman didalam menghadapi kehidupan ini dengan segala permasalahan yang terjadi, maupun memberikan kepuasan dan kebahagiaan lahir batin, yang sesuai dengan tujuan agama hindu, yaitu Moksartham Jagadhitam dengan maksudmencapai kebagiaan lahir dan batin serta kebahagiaan seluruh isi alam dengan landasan dharma.
            Tattwa sebagai salah satu dari tiga kerangka dasar Agama Hindu, lebih menekankan pada suatu hal, yang kesemuanya itu dapat diyakini kebenarannya. Cara pembuktian tersebut sehingga benar-benar diyakini dan dipercayai untuk mendapatkan pengetahuan baik untuk mengetahui ragam bendadan berbagai kejadian. Adapun bagian-bagian ketiga cara tersebut antara lain Pratyaksa Pramana yaitu dengan melihat benda atau kejadian secara langsung. Anumana Pramana yaitu mengetahui dengan suatu perhitungan atau pertimbangan yang logis, berdasarkan tanda-tanda atau gejala-gejala yang ada yang dapat diamati. Agama Pramana adalah mengetahui melalui pemberitahuan atau mendengarkan upacara-upacara dengan cerita-cerita yang wajar dipercayai karena kejujuran kesucian atau keseluruhan pribadinya.
            Pendidikan Tattwa adalah suatu pendidikan yang mempelajari tentang aspek atau hakikat kebenaran, manusia tidak akan mengetahui suatatu kebenaran yang hakikatnya bila tidak menyadari betapa kecil dan keterbatasan dirinya (Suartini,2007:44).
            Menurut Sarna dalan Pelaksanaan pementasan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasaagar mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan lahir maupun batin baik skala maupun niskala pada hidupnya ( wawancara tanggal20 maret2015)
            Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai Tattwa yang terdapat pada pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Babung yaitu pada saat persembahyangan penari gandrung sebagai bentuk rasa bersyukur bahwa masih bisa melaksanakan kewajibannya dalam mesolah tarian gandrung tersebut dan meminta doa agar pelaksanaan tariannya dapat terlaksana dengan baik.

2.      Nilai Susila atau Etika
            Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial atau bermasyarakat dan hidup dengan orang banyak. Oleh karena itu dalam pergaulannya manusia terikat oleh peraturan-peraturan atau norma dalam berperilaku, berbuat atau bertingkah laku untuk kebaikan bersama. Didalam dilsafat atau Tattwa diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya. Oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikkan susila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata “Su” dan “Sila”. “Su” berarti baik, indah, harmonis, dan “Sila berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin objek kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Pengertian Susila menurut pandangan agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbale balik yang selaras dan harmonis antara sesame manusia dan alam semesta yang berl;andaskan atas korban suci, keikhlasan dan kasih sayang.  Peraturan tingkah laku pada umumnya disebut susila atau etika ( Sudarma,2007:43) mengatakan bahwa etika yang merupakan bagian dari Tri Kerangka Agama Hindu disebut pula susila. Susila atau etika adlah sebagai pedoman atau tingkah laku yang baik dan benar. Manusia mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk dapat memperbaiki diri dan untuk berbuat baik, supaya hidup tidak menjadi sia-sia namun hidup penuh dengan makna. Dalam kitab Sarasamuccaya sloka 4 dijelaskan mengenai hal tersebut, sebagai berikut:
            “apan ikang dadi wwang, uttama juya ya, nimittaning mangkana,
            wȇnang yatumulung awaknya sangkeng sangsāra,
            makasādhanang cubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”.

Terjemahan:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara(lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia (Kajeng, dkk, 1997: 9).

            Menjelma sebagai manusia pergunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya, karena dilahirkan menjadi manusia sungguh sulit di peroleh, sebab ini merupakan tangga untuk dapat pergi ke sorga, segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan. Disamping lahir menjadi manusia, manusia juga dapat berkata-kata dan berprilaku yang baik dan benar, maka ,manusia tidak lepas dari pikiran yang benar dan suci karena pikiran yang benar dan suci sangat berperan penting dalam kehidupan manusia.
            Dalam kitab Bhagawadgita juga disebutkan tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan yang harus menjadi pedoman hidup manusia (Mantra, 1998:5). Tata susila dapat dijabarkan secara pajang lebar mengenai benar salah atau baik buruknya manusia menempuh kehidupan ini. Karena pada dasarnya apa yang disebut benar adalah sesuatu yang dibenarkan Agama. Sebaliknya apa yang disebut buruk adalah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Agama. Karena tujuan dari pada tata susila adalah untuk membina perhubungan yang selaras dan perhubungan yang rukun antara seseorang(Jiwatman) dengan makhluk yang hidup di sekitarnya, perhubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain antara manusia dengan alam sekitarnya (Mantra, 1988:5).
            Tingkah laku yang baik memyebabkan orang disenangi di masyarakat dan juga merupakan alat untuk menjaga dharma dan memperteguh iman (keyakinan), seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 162 disebutkan :


            Yadyapi brāhmana tuha tuwi, yan dursila, tan
            yogya katwangana, mon sudra tuwi,dhārmīka,
            susila, pujan katwangana jugeka,
            ling sang hyang aji
(Sarasamuscaya sloka 161)
Terjemahannya:
Meskipun Brahmana yang berusia lanjut, jika perilakunya tidak susila, tidak patut disegani, biar sudra sekalipun, perilakunya berpegangan kepada dharma dan kesusilaan, patutlah ia dihormati dan disegani juga, demikian kata sastra suci (Kajeng, 2010:133).


Dalam kaitannya dengan Pementasan Tari Gandrung diharapkan terbentuk etika dan susila pada Lingkungan Banjar Cengilingyang sesui dengan ajaran agama yang dapat menimbulkan perilaku yang positif. Sedangkan menurutAdnyana menyatakan bahwa tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang menjadi pedoman hidup manusia khususnya umat Hindu diLingkungan Banjar Cengiling dalam mengembangkat misi agama, sehingga kesejahtraan lahir dan batin dapat terbina sesuai dengan kebaikan yang menjadi tuntunan umat hindu pada umumnya. Disini dalam tari gandrung memiliki pengibing tetapi pengibing disini tidak sembarang warga yang bisa mengibing, hanya pemangku dan orang yang kepingit saja yang boleh mengibing dalam tari gandrung(wawancara tanggal 20 maret 20015). Etika merupakan kekuatan budi (akal) yang menerima perintah dari tatwa untuk diteruskan kepada ahamkara, kenyataan sebagai tempat memproses perintah mahat sehingga menjadi kebijakan (sudarsana, 1998:9). Dihubungkan dengan pementasan tari gandrung yang dilaksanakan di lingkungan banjar cengiling, tanpa adanya suatu etika yang mendukung pelaksanaan tersebut, maka tidak akan mampu berlangsung semaksimal mungkin.
Dari hasil wawancara diatas dan sumber lain,dapat disimpulkan bahwa susila atau etika adalah suatu tindakan atau perilaku baik dalam wujud ucapan atau perkataan dan perbuatan yang sangat penting dalam pergaulan dikeluarga, maupun di masyarakat karena perkataan atau ucapan jalan hidup untuk mencapai tujuan.  maka hendaknya diperlukan pengendalian diri yang tidak saja kata-kata tetapi juga dapat berpikir dan berbuat sehingga semua dapat terhindar dari hal-hal yang kurang baik. Dengan mengamalkan ajaran kebaikan melalui konsep yang telah ada yangs sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisuda dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah jelas umat telah mengamalkan ajaran kebaikan sesuai dengan konsep ajaran etika atau susila yang menjadi acuan hidup agama hindu. Ciri lain yang terungkap dari nilai etika yang terkandung di dalam pementasan tari gandrung adalah masyarakat dapat melaksanakan ritual keagamaan selalu melaksanakannya berdasarkan aturan berpikir, berkata dan berbuat yang baik. Hal ini terbukti dari sifat masyarakat dilingkungan Banjar Cengiling pada saat pementasan tari gandrung dengan desiplin dan sikap yang arif sehingga semua bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan bisa terselesaikan selain itu juga, dalam proses pelaksanaan dari awal hingga akhir dapat dilihat dari nilai etika dari segi pakaian yang digunakan, cara menarikan dan tata cara pelaksanaanya diatur sedemikian rupa olah para tukang banten dan jero mangku, sehingga menimbulkan kesan yang tertib dan desiplin serta kusuk. Sesuai dengan analilis data (berdasarkan wawancara) maka nilai susila atau etika yang terdapat dalam Mesolah tari Gandrung di lingkungan Banjar Cengiling, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung adalah pada saat  pengibing dalam hal ini adalah pemangku atau seseorang yang kepingit secara tidak sadarkan diri (kerauhan) ikut menari bersama penari gandrung. Pengibing menarikannya dengan sopan dan luwes berbeda dengan pengibing tari joged yang di pentaskan sebagai hiburan.
3.      Nilai Upacara
Dalam pementasan tari Gandrung di perlukan sarana Upacara yang disebut dengan Banten, Banten merupakan Banten pinakaandha bhuana yang mempunyai pengertian bahwa banten selain sebagai perwujudan Tuhan, Banten juga merupakan perlambangan alam semesta beserta isinya, dalam hal ini contoh yang paling real dalam kehidupan beragama Hindu di bali adalah bentuk banten daksina yang melambangakan unsur Panca Maha Bhuta, begitu pula dengan banten yang merupakan perlambangan gunung, karena menurut lontar Dharma Sunia, gunung merupakan perlambangan bentuk ringkasan dari Bhuana (Murtini, 2012:77).
Menurut Sudeni banten merupakan salah satu sarana Upakara yang digunakan dalam Upacara Agama Hindu yang merupakan penerangan ajaran Agama Hindu dalam bentuk visualisasi seni budaya agama. Banten juga mengandung pengertian sebagai ungkapan kemantapan rasa dan keyakinan serta jembatan dua hati umat untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa beserta manifestasinya (wawancara tanggal 19 Maret 2015).
Menurut pendapat Wintra Bebanten umat Hindu dapat menimbuhkan rasa keyakinan dan kepercayaan suci untuk mengendalikan Buta Kala yang ada dalam diri manusia agar tidak terganggu dalam berbagai kegiatan. Oleh karena itu perlu menunjukan nilai pendidikan upacara atau ritual pada setiapa jenis upacara Agama Hindu khususnya dalam pementasan tari Gandrung. hal ini sangat diperlukan karena demi kelestarian budaya Agama Hindu dalam memuliakan kehidupan pemeluknya sepanjang jaman melestarikan pementasan Tari Gandrung ini yang merupakan warisan dari nenek moyang kita. (wawancara tanggal 19 Maret 2015).
Sesuai dengan analisis data (berdasarkan wawancara) maka dapat disimbulkan bahwa nilai upakara yang terdapat didalam mesolah tari Gandung pada rahina purnama di Lingkungan Banjar Cengiling, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung yaitu untuk mengendalikan Buta Kala yang ada didalam diri manusia agar tidak terganggu dalam berbagai kegiatan.
4. Nilai Estetika
      Dalam sebuah karya seni pasti memiliki nilai estetika atau keindahan. Estetika merupakan ilmu yang membahas bagaiman keindahan bisa dibentuk dan bagaimana supaya dapat merasakannya.  Estetika juga merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dari filsafat. Kata Estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos atau aishtanomai yang berarti mengamati dengan indera. Estetika sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pada kegiatan dari pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan panca indera, yaitu Mata sebagai indera penglihatan, Hidung sebagai indera pencium, Telinga sebagai indera pendengar, Lidah sebagai indera pengecap, Kulit sebagai indera peraba.
Untuk menilai karya tari dilakukan dengan memperhatikan konsep estetika seperti :
1. Wiraga digunakan untuk menilai : Kompetensi menari, meliputi keterampilan menari, hafal terhadap gerakan, ketuntasan, kebersihan dan keindahan gerak.
2.  Wirama untuk menilai : Kesesuaian dan keserasian gerak dengan irama (iringan), kesesuaian dan keserasian gerak dengan tempo.
3.  Wirasa adalah tolok ukur harmonisasi antara wiraga (sebagai unsur kriteria kemahiran menari) dan wirama (sebagai unsur kesesuaiannya dengan iringan tari), kesesuaian dengan busana dan ekspresi dalam menarikannya.
            Bahasa gerak tubuh (Mudra) dan kesesuaian dengan rasa estetika atau rasa, tampaknya menarik untuk dicatat bahwa teks tentang tari, drama dan musik mengacu kepada kedelapan emosi atau rasa yaitu sebagai berikut; Sringara: cinta atau rasa erotis, Vira: keberanian atau rasa herotik, Karuna: kasihan atau rasa tragis, Raudra: marah, Nibhatsa: benci, iri hati, Hasya: gerak tawa atau rasa lucu, Bhasya: ketakutan, dan Vismaya: kekaguman. Prabhakar M dalam bukunya Kontribusi Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (2000:117) menyatakan bahwa setiap peristiwa seni dimana para pelakunya selalu didukung dengan delapan rasa diatas, sehingga terbentuknya seni yang mengandung keindahan atau estetika.
            Berdasarkan pendapat diatas dapat dikaitkan nilai estetika suatu tarian seperti Tari Gandrung dapat diketahui secara langsung. Setiap gerakann tari dalam Tari Gandrung mencerminkan adanya suatu keindahan tersendiri karena didukung oleh delapan rasa yang telah diuraikan diatas. Nilai keindahan dapat dirasakan baik oleh penari maupun penonton, misalnya gerakan nyeleog, ngegol, sayar-sayor. Dismping nilai keindahan yang tercermin pada gerakan penari, Tari Gandrung tercermin juga keindahannya dari pakaiann yang digunakan yaitu dengan kamben yang digunakan warnanya mencolok.
Menurut informan Sumerni (wawancara: kamis 20 maret 2015) Nilai Estetika atau keindahan yang terkandung dalam Tari Gandrung meliputi aspek kesucian. Kesucian dalam hal ini bahwa pementasan Tri Gandrung harus dipersembahkan atas dasar pikiran yang suci nirmala tanpa ada rasa aspek lain seperti imbalan. Kebenaran yang dimaksud yaitu bahwa sesuatu yang dipersembahkan khususnya Tari Gandrung yang sacral harus didasari dalam konsep kebenaran, keiklasan, kejujuran dan keindahan sehingga yadnya yang dipersembahkan menjadi satwika bukan rajasika atau tamasika.
Jadi Nilai Estetika yang dapat kita lihat pada Mesolah Tari Gandrung yaitu cara menarikannya yang lembah lemut, luwes karna gerakannya itu membuat orang ingin melihatnya, tidak hanya itu, keselarasan antara gambelan dengan gerakan yang terlihat sangat ritmis.

5. Nilai Sosial
Agar mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dalam satu pelaksanaan segala kegiatan maka semua warga di Lingkungan Banjar Cengiling tidak lepas dari Nilai Sosial.
Menurut Sarna mengatakan bahwa rasa sosial tersebut dari awal pelaksanaan upacara sampai persiapan segala sesuatu yang akan dijadikan sebagai sarana upakara (tari Gandrung) tidak ada rasa cemburu, mengeluh, dan ingkar terhadapa kesepakatan yang ada.
Susila juga mennyatakan bahwa nilai sosial juga dapat diwujudkan sebagai ungkapan senasib dan sepenanggungan, seguluk segulik, selunglung sabaya taka dalam melaksanakan semua jenis kegiatan upacara dilingkungan banjar Cengiling dalam melaksanakan upacara-upacara keagamaan khususnya Agama Hindu. Dari awal pelaksanaan yaitu menghias bale tempat penari akan mesolah, sampai akhir kegiatan. Masyarakat juga saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya agar pelaksanaan mesolah Tari Gandrung dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada halangan. Dari masyarakat datang untuk bersembahyang bersama hingga menyaksikan mesolah Tari Gandrung, dapat kita lihat masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling datang kepura Pesambhyangan Dalem Balangan dengan social membantu menyiapkan segala sesuatunya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan suatu pemikiran yang langsung diwujudkan dalam bentuk prilaku atau perbuatan dengan adanya suatu persamaan ide, visi dan misi dengan tujuan demi terselesaikanya suatu kegiatan upacara di lingkungan Banjar Cengiling, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung khususnya agama Hindu (wawancara tanggal 20 maret 2015).




















BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
            Bedasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya yang didukung oleh hasil penelitian serta diperkuat oleh sumber-sumber data dan hasil wawancara, maka dapat disimpulkansebagai berikut:
1. Proses atau tahapan-tahapan pada Mesolah Tari Gandrung yang dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu Sebelum dipentaskan Tari Gandrung akan diawali dengan matur piuning yang dipimpin oleh Jero Mangku Sarna. selanjutnya adalah Pejati terhadap penari dan penabuh selanjutnya jero mangku Witra menggunakan caru untuk penari gandrungnya dibawah kakinya kemudian nyembeleh ayam hitam. Setelah caru dihaturkan, penari kemudian duduk dikursi yang biasa digunakan untuk menari bersiap-siap untuk menari.
2. Motivasi masyarakat Banjar Cengiling dalam melasanakan Mesolah Tari Gandrung yaitu Melestarikan Budaya, masyarakat termotivasi untuk melaksanakan Mesolah Tari Gandrung ini selain untuk melestarikan budaya leluhur, masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling juga ingin menjauhi yang tidak diinginkan. Mengajarkan Generasi Muda Untuk Mengenal dan Melestarika Seni KebudayaanMeningkatkan Pengamalan Ajaran Tri Hita Karana
3. Nilai-nilai Pendidikan yang terkadung dalam Mesolah Tari Gandrung yaitu Nilai yang terdapat pada pelaksanaan Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama diLingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Babung yaitu pada saat persembahyangan penari gandrung sebagai bentuk rasa bersyukur bahwa masih bisa melaksanakan kewajibannya dalam mesolah tarian gandrung tersebut dan meminta doa agar pelaksanaan tariannya dapat terlaksana dengan baik, Susila atau Etika dapat dilihat dari sifat masyarakat dilingkungan Banjar Cengiling pada saat pementasan tari gandrung dengan disiplinsehingga semua bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan bisa terselesaikan selain itu juga, dalam proses pelaksanaan dari awal hingga akhir dapat dilihat dari nilai etika dari segi pakaian yang digunakan, cara menarikan dan tata cara pelaksanaanya diatur sedemikian rupa olah para tukang banten dan jero mangku, sehingga menimbulkan kesan yang tertib dan desiplin serta kusuk, Nilai Upakara yang dapat kita lihat yaitu banten yang telah dipersembahkan adalah untuk mengendalikan Buta Kala yang ada didalam diri manusia agar tidak terganggu dalam berbagai kegiatan, Nilai Estetika yang dapat kita lihat yaitu cara menarikannya yang lembah lemut, luwes dan Nilai Sosialsemua warga yang hadir di tempat upacara kemudian melaksanakan persembahyangan bersama.
5.2 Saran-saran
1.      Kepada masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling dapat membuka wawasan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam semua ajaran agama hindu. Mesolah Tari Gandrung merupakan bagian dari tradisi yang ada dan yang harus dilestarikan. Diharapkan kepada masyarakat dilingkungan Banjar Cengiling agar selalu mengadakan tradisi ini bertujuan untuk kehormanisan antar warga.
2.      Kepada masyarakat diLingkungan Banjar Cengiling agar melaksanakan Mesolah Tari Gandrung maupun melaksanakan acara keagamaan lainnya selalu didasari dengan kesadaran beryadnya, ketulusan iklas dn perilaku sopan santun serta dilaksanakan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3.      Kepada tokoh Rohaniawan agar selalu melaksanakan tradisi atau upacara agama lainnya sesuai dengan waktu dan pelaksanaan yang telah ditentukan agar menjadi kebiasaan dan pengenalan bagi generasi muda.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gafur, 1980. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Ali Muhamad, 1991. Dasar-Dasar Merancang Dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT. Dunia Pustaka Jaya.
Bandem, 1996.Tari Bali.Yogyakarta:Konisius.
Bandem, 2004. Kaja dan Kelod Tari Bali Dalam Tradisi. Yogjakarta: Institut Seni Indonesia.
Gulo,W, 2004.Metodelogi. Jakarta: Gramedia Widia Sastra Indonesia.
Iqbal,Hasan,M, 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta:Ghalia Indo Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996. Balai Pustaka.
Kamus Bali- Indonesia, 2009. Dinas Pendidikan Provinsi Bali.
Koenjaraningrat, 1982. Asas Ritual Upacara dan Religi. Jakarta:Universitas Indonesia.
Koenjaraningrat, 2002.  Antropologi Budaya. Jakarta : Dian Rakyat.
Koenjaraningrat, 2010. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kartika, D Harsono dan Nanang Ganda Prawira.2004.Pengantar Estetika. Bandung:Rekayasa Sains.
Mandra, Arsa Wayan, 1995. Materi Pokok Tari Sakral. Jakarta: Universitas Terbuka.
Maelong, Lexy.j.1993.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT.Remaja Rosdakarya
Maelong, Lexy.j.2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja.
Mantra Ida Bagus, 1998. Dinamika Kebudayaan Bali..
Ngurah, 1999. Agama Hindu Di Bali. Surabaya: Paramitha.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, 1980. Upadesa Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali.
Parisada Hindu Dharma Pusat, 1982.Ajaran-Ajaran Agama Hindu.Denpasar PHDI.
Pudja, I Gede et.al.1985, Menawa Dharma Sastra, Weda Smerti.Jakarta: Balai Pustaka.
Purwanto,M.Ngalim, 2013. Psikologi Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya.
Prabhakar Machwe, 2000. Kontribusi Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Denpasar:Widya Drama.
Ridwan, 2004. Metode Teknik Penyusunan Tesis.Bandung: Alfa Beta Cetahara.
Ritzel, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Paradigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiono, 2007. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekan Kuntitatif Kualitatif dan R&G). Bandung: Alfa Beta.
Tambang,Raras Niken, 2004. Purnama Tilem. Surabaya:Paramita.
Tim Abdi Guru,  2004. Kesenian Untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Trilangga.
Tim Penyusun, 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Pemerintah Provinsi Bali.
Tim Penyusun, 1995. Panca Yadnya. PHDI. Denpasar.
Titib, I Made, 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.
Wiana, I Ketut, 2001. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu. Surabaya:Paramita.
Wiana, 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya:Paramita.
Yudhabakti, I Made, 2000. Filsafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali. Surabaya:Paramita.

RIWAYAT HIDUP
  Penulis dilahirkan di Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung. Pada tanggal 27 Mei 1993 dari seorang  ayah yang bernama I Wayan Sutayasa dan ibu bernama Ni Wayan Suriawi.Penulis merupakan anak Pertama dari Dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah asar di SD Negeri 3 Benoa lulus pada tahun 2005.  Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Kuta Selatan tamat pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kuta Selatan lulus pada tahun 2011. Setelah tamat SMA, penulis memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pendidikan Agama Hindu, Jurusan Pendidikan Agama di Fakultas Dharma Acarya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pada awal semester VIII Penulis mulai proses penelitian untuk skripsi yang berjudul “Tradisi Mesolah Tari Gandrung Pada Rahina Purnama di Lingkungan Banjar Cengiling Desa Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)“,  dan berhasil diselesaikan dengan baik serta dipertahankan pada bulan Juli 2015.


semoga tulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita semua dan menjadi motivasi untuk tetap menjaga tradisi warisan leluhur. 


             

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar